http://www.driyarkara.ac.id |
Dewasa ini, Indonesia tengah berada dalam pusaran
arus globalisasi. Arus globalisasi menjadikan Indonesia aktif, atau lebih
tepatnya "dipaksa", dalam mengikuti perkembangan perekonomian dan
perpolitikan. Hal tersebut tampak dalam keikutsertaan Indonesia dalam MEA
(Masyarakat Ekonomi Asean) pada akhir tahun 2015 ini, meskipun Indonesia belum
dinilai siap bersaing dalam banyak bidang. Ketidaksiapan tersebut salah satunya
tampak dalam realitas bahwa Indonesia belum memiliki kepribadi nasional yang
mantab. Kepribadian nasional yang belum mantab tersebut tampak misalnya dalam sikap
masyarakat Indonesia yang belum selektif terhadap budaya-budaya baru yang
merupakan anak kandung dari globalisasi.
Ketidakmantaban
kepribadian nasional dewasa ini ditengarai salah satunya oleh gerak pendidikan
yang keluar "rel". Pendidikan yang keluar "rel" tersebut
setidaknya dapat dilihat dari jargon-jargon yang berkembang di berbagai
institusi pendidikan, misalnya "menciptakan lulusan yang siap
bersaing" atau juga "menciptakan lulusan yang siap 'bertempur' di
MEA". Aspek pragmatis dalam fenomena tersebut telah meninggalkan aspek
esensial dari pendidikan, yaitu memanusiakan manusia. Pendidikan yang pragmatis
tersebut antara lain dapat tercipta oleh semangat perkonomian modern yang
ditandai dengan profesionalisme dan efisiensi. Pendidikan nasional seakan hanya
didikte untuk menciptakan "makhluk mekanis" yang hidup dalam
ketegangan antara individualis atau pribadi massa.
Kepribadian
nasional yang kontekstual adalah hal mendesak untuk segera dirumuskan agar
Indonesia mampu bertahan sekaligus memberi warna dalam globalisasi. Selama ini,
pendidikan Indonesia seakan terkatung-katung di antara kepentingan pembentukan
kepribadian nasional yang keburu mati sebelum memberikan hasil dan hasrat
mengikuti persaingan global dengan ketakutan ketinggalan kereta (Sudiarja, 2014:208). Berdasar realitas ini, secarik pertanyaan yang
perlu dijawab adalah: Apa dan bagimana model pendidikan yang tepat dalam mengembangkan pribadi dan kepribadian nasional? Penulis
berasumsi bahwa kepribadian nasional di
bangun di atas dasar manusia yang berkepribadian di mana hal tersebut diperoleh
melalui pendidikan yang personalis. Salah satu konsep pendidikan yang
personalis dan berfokus pada pembangunan kepribadian nasional dapat diambil
dari visi pendidikan personalis Driyarkara.
PENDIDIKAN PERSONALIS DRIYARKARA: VISI
HUMANIORA YANG MEMBENTUK KEPRIBADIAN NASIONAL
Driyarkara (1913-1967) adalah seorang pemikir awal Indonesia yang memiliki
latar belakang pendidikan humaniora, filsafat, dan juga ideologi Pancasila yang
waktu itu sangat diperlukan. Visi humaniora yang membentuk kepribadian nasional
diawali oleh Driyarkara dari paham tentang manusia sebagai persona. Paham
sebagai manusia sebagai persona ini kemudian mensyarakatkan adanya pendidikan
yang memiliki tujuan dasar untuk menyempurnakan persona. Dalam konteks
kebangsaan, perkembangan persona melalui pendidikan tidak dapat dipisahkan dari
kepribadian nasional sebagai pangkal dan tujuan pendidikan itu sendiri. Visi
humaniora Driyarkara ini secara jelas kemudian tertuju pada dua arah yang
saling berkaitan, yaitu penyempurnaan persona dan pembangunan kepribadian
nasional.
Manusia = Persona, Pendidikan
sebagai Hominisasi dan Humanisasi
Manusia adalah dwaita-adwaita atau suatu realitas dwi-tunggal yang merupakan
kesatuan jiwa-badan atau rasio-tubuh. Driyarkara mendasarkan pemikirannya ini
dengan berangkat dari pengalaman setiap manusia, bahwa dalam dan dengan pengalaman kita sendiri atas diri kita sebagai
jasmani, kita mengalami kita sendiri sebagai rohani (KLD, 108). Kesatuan
tersebut adalah kebenaran fundamental yang harus digunakan dalam memandang
semua gejala kehidupan manusia: moral, kebudayaan, kesenian, pendidikan
jasmani, dan lain-lain. Aspek kesatuan (unity) sebagai persona tampak
saat manusia dapat berkata Aku dengan
sadar dan insyaf. Persona adalah subjek yang tercinta dan harus disambut dengan
cinta, yang selalu dalam upaya menuju kesempurnaan melalui aspek relasional
(KLD, 154-155).
Karena aspek kesatuan jasmani-rohani, persona adalah
sesuatu yang bernilai dalam dirinya, yang dalam komunikasi atau relasi berdiri
sendiri sebagai kediri-sendirian dalam kodrat rohani (KLD, 114). Hal yang
menonjol dari persona adalah aspek kesempurnaan. Fungsi pendidikan ditujukan
agar manusia menjadi sempurna dan harus menjadi sempurna. Manusia adalah
persona yang perlu dipersonisasikan. Hal tersebut, dari tradisi pendidikan
sejak Yunani Kuno, dimaknai sebagai arah perjalanan ke depan yang dikenal
sebagai "humanoira" atau
proses menjadi lebih manusiawi (Sudiarja, 2014:183).
Pendidikan humaniora bertujuan menjadikan manusia "berdaulat",
bertahta, "kediri-sendirian" - manusia sendirilah yang menetapkan
dirinya!
Dalam paham dasar persona di atas, dapat dipahami bahwa
pokok utama dari persoalan pendidikan adalah manusia (Sudiarja, 2014:182). Hal tersebut disebabkan karena hanya manusia
yang memiliki kesadaran, pertimbangan baik-buruk, dan juga orientasi menjadi
lebih baik. Bagi Driyarkara, pendidikan harus dilihat dalam proses homininasi
dan humanisasi. Hominisasi adalah proses pendidikan umum guna menyadarkan
seseorang sebagai manusia, sedangkan humanisasi berkaitan dengan proses
pendidikan selanjutnya yang menghasilkan kebudayaan dan perilaku halus,
terukur, dan memperlihatkan peradaban. (Sudiarja, 2014:183). Visi humaniora dalam kacamata personalisme
dapat diartikan pula bahwa pendidikan adalah proses "personisasi" -
penyempurnaan terus menerus untuk mencapai "kepribadian" yang penuh.
Kepribadian
Nasional sebagai "pangkal tolak" dan "tujuan" Pendidikan
Realitas
menunjukkan bahwa pengenalan diri persona tercipta melalui proses pemberian
arti pada alam hidupnya. Sebagai contoh, relasi persona dalam masyarakat mampu
memberi arti tentang siapakah dirinya, dan gerak relasi itu sendiri secara
timbal balik menghasilkan budaya (KLD, 323). Gerak pengenalan diri tersebut adalah dasar kepribadian nasional
yang merupakan "pangkal
tolak" dan "tujuan" dari seluruh pembudayaan yang disebut
sebagai pendidikan. Menjadi pangkal
tolak sebab penemuan diri persona tidak dapat dilepaskan dari lokalitasnya.
Menjadi tujuan karena pendidikan sebagai penyempurnaan persona juga berarti
penyempurnaan lokalitasnya tersebut.
Proses perumusan kepribadian nasional sesungguhnya
tidak dapat dilepaskan muatan kebudayaan lokal yang harus ditanamkan dalam
pendidikan (Sudiarja, 2014:191). Pendidikan
dalam konteks kebangsaan adalah suatu pembudayaan yang merupakan proses "memasyarakat" persona.
Persona yang hadir dalam kesatuan gerak, kebersamaan, dan co-eksistensi
dalam communio adalah aspek-aspek
dalam proses pembangunan kepribadian nasional. Kepribadian nasional
sendiri kemudian menjadi suatu syarat fundamental bagi eksistensi suatu
masyarakat dalam kerangka pergaulan dengan masyarakat-masyarakat lainnya.
MERUMUSKAN (KEMBALI)
KEPRIBADIAN NASIONAL BERBASIS PENDIDIKAN YANG PERSONALIS: Memulihkan Peran
Orangtua, Memurnikan Prinsip Lembaga Pendidikan, Melahirkan Pribadi yang Kritis
Berdasarkan
visi humaniora Driyarkara di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan
personalis mampu mengembangan persona manusia sekaligus sebagai dasar
pembentukan pembangunan nasional.
Melihat realitas realitas Indonesia dewasa ini, pendidikan personalis
pertama-tama harus mampu terlepas dari tujuan pragmatis yang stato-sentris.
Pendidikan nasional yang selama ini hanya berfokus pada kepentingan negara
hanya akan menjadikan manusia sebagai "alat" atau bahkan
"komoditas" untuk kepentingan negara. Pendidikan model pragmatis ini sebenarnya telah menunjukkan berbagai
kegagalan, antara lain dengan tidak terciptanya struktur sosial serta
pribadi-pribadi yang cenderung individualis karena dunia kerja dan sosial
dinilai sebagai bentuk persaingan - dan dengan demikianlah kepribadian nasional
tidak terbentuk!
Dunia
pendidikan nasional harus beralih pada esensi pendidikan, yaitu penyempurnaan
persona dan penanaman nilai serta keterampilan. Pendidikan personalis dapat
menjadi jalan yang tepat ditengah arus global dehumanisasi yaitu individualis,
ketika orang memiliki orientasi hidup untuk diri sendiri, dan juga
kolektivisme, yaitu ketika orang menjadi anonim di dan "pengikut"
arus massa. Pendidikan personalis merupakan fondasi kepribadian nasional, sebab
pemenuhan kesempurnaan pribadi sekaligus kemajuan hidup sosial mendapatkan
penekanan yang seimbang. Akan tetapi, siapa yang seharusnya menjadi agen perubahan
ini? Berangkat dari visi humaniora Driyarkara, pendidikan personalis harus
berangkat dari peran orang tua dengan menyertakan negara dalam porsi yang
tepat.
Driyarkara
menyatakan bahwa pendidikan adalah hal dan kewajiban orang tua, di mana
pendidikan adalah dalam keluarga berfokus hominisasi atau penanaman nilai-nilai
dasar. Maka tidak dapat dipungkiri bahwa anak sebagai kontinuitas keluarga
harus dididik dalam nuansa keluarga yang stabil sehingga nilai-nilai
personalitas dasar dapat terintegrasi, seperti kejujuran, keteladanan, dll.
Dengan memenuhi hak dan kewajibannya dalam pendidikan dasar kepada anak, orang
tua sesungguhnya telah berperan berdasarkan kodrat kesatuan keluarga dalam
menjadikan keluarga sebagai sel masyarakat. Dengan menempatkan keluarga sel masyarakat,
maka akan timbul kesatuan yang organis dalam masyarakat di mana kepribadi
nasional mudah ditemukan di dalamnya.
Dalam pendidikan personalis, negara memiliki kewajiban
negara untuk mengakui, melindungi, dan membantu pelaksanaan hak dan kewajiban
orang tua tersebut itu. Negara berperan secara lebih lanjut dengan memperkuat
aspek humanisasi dalam pendidikan melalui pengembangan bidang-bidang keahlian
dengan tetap selaras aspek personalitas dan gerak visi negara. Dalam hal ini,
negara juga memiliki tugas "mendidik", yang bersumber dari fakta
bahwa perkembangan negara tergantung dari adanya pendidikan dan pengajaran yang
baik. Pendidikan dan pengajaran yang baik ini pertama-tama harus diwujudkan
negara dengan memperkuat keluarga sebagai sel masyarakat serta menyediakan
institusi-institusi pendidikan yang terjangkau untuk semua kalangan. Meskipun
dinilai lebih memahami tentang tujuan kehidupan bersama, peran negara harus
ditempatkan secara proporsional dan tidak dapat mengambil alih hak dan kewajiban
mendidik dari orang tua.
Dalam taraf selanjutnya, kepribadian nasional akan
terbentuk melalui pendidikan berbasis persona yang menekankan adanya kesadaran
akan tugas mendidik orang tua serta peran negara yang proporsional. Akan
tetapi, dengan melihat bahwa globalisasi telah merasuk dalam berbagai sendi
kehidupan, gerak perumusan kepribadian nasional yang kontekstual pertama-tama
harus diarahkan pada terbentuknya pribadi-pribadi warga negara yang kritis.
Sikap kritis ini adalah elemen dasar dalam perumusan kepribadian nasional.
Pribadi yang kritis adalah pribadi mampu melihar keseluruhan, keselarasan, dan
peka akan ketidaksesuaian dalam realitas sosial (Hartoko, 1985:72). Melalui sikap kritis inilah, pribadi-pribadi
dapat memulai merefleksikan kembali kepribadian khas Indonesia yang menjadi
fundamen dalam pendidikan yang personalis.
***
SUMBER BACAAN
DRIYARKARA,
N., Karya Lengkap Driyarkara, (pen. A. Sudiarja SJ, G. Budi Subanar SJ,
St. Sunardi, dan T. Sarkim), Kanisius-Kompas-Gramedia, Jakarta 2006 (disingkat
KLD dalam rujukan)
HARTOKO,
DICK, Memanusiakan Manusia Muda, Kanisius, Yogyakarta 1985
SUDIARJA,
Pendidikan dalam Tantangan Zaman, Kanisius, Yogyakarya 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar