Halaman

Sabtu, 09 Januari 2016

MERUMUSKAN (KEMBALI) KEPRIBADIAN NASIONAL BERBASIS PENDIDIKAN YANG PERSONALIS



http://www.driyarkara.ac.id

Dewasa ini, Indonesia tengah berada dalam pusaran arus globalisasi. Arus globalisasi menjadikan Indonesia aktif, atau lebih tepatnya "dipaksa", dalam mengikuti perkembangan perekonomian dan perpolitikan. Hal tersebut tampak dalam keikutsertaan Indonesia dalam MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) pada akhir tahun 2015 ini, meskipun Indonesia belum dinilai siap bersaing dalam banyak bidang. Ketidaksiapan tersebut salah satunya tampak dalam realitas bahwa Indonesia belum memiliki kepribadi nasional yang mantab. Kepribadian nasional yang belum mantab tersebut tampak misalnya dalam sikap masyarakat Indonesia yang belum selektif terhadap budaya-budaya baru yang merupakan anak kandung dari globalisasi.
            Ketidakmantaban kepribadian nasional dewasa ini ditengarai salah satunya oleh gerak pendidikan yang keluar "rel". Pendidikan yang keluar "rel" tersebut setidaknya dapat dilihat dari jargon-jargon yang berkembang di berbagai institusi pendidikan, misalnya "menciptakan lulusan yang siap bersaing" atau juga "menciptakan lulusan yang siap 'bertempur' di MEA". Aspek pragmatis dalam fenomena tersebut telah meninggalkan aspek esensial dari pendidikan, yaitu memanusiakan manusia. Pendidikan yang pragmatis tersebut antara lain dapat tercipta oleh semangat perkonomian modern yang ditandai dengan profesionalisme dan efisiensi. Pendidikan nasional seakan hanya didikte untuk menciptakan "makhluk mekanis" yang hidup dalam ketegangan antara individualis atau pribadi massa.
            Kepribadian nasional yang kontekstual adalah hal mendesak untuk segera dirumuskan agar Indonesia mampu bertahan sekaligus memberi warna dalam globalisasi. Selama ini, pendidikan Indonesia seakan terkatung-katung di antara kepentingan pembentukan kepribadian nasional yang keburu mati sebelum memberikan hasil dan hasrat mengikuti persaingan global dengan ketakutan ketinggalan kereta (Sudiarja, 2014:208). Berdasar realitas ini, secarik pertanyaan yang perlu dijawab adalah: Apa dan bagimana model pendidikan yang tepat dalam mengembangkan pribadi dan kepribadian nasional? Penulis berasumsi bahwa kepribadian  nasional di bangun di atas dasar manusia yang berkepribadian di mana hal tersebut diperoleh melalui pendidikan yang personalis. Salah satu konsep pendidikan yang personalis dan berfokus pada pembangunan kepribadian nasional dapat diambil dari visi pendidikan personalis Driyarkara. 
    
PENDIDIKAN PERSONALIS DRIYARKARA: VISI HUMANIORA YANG MEMBENTUK KEPRIBADIAN NASIONAL
            Driyarkara (1913-1967) adalah seorang pemikir awal Indonesia yang memiliki latar belakang pendidikan humaniora, filsafat, dan juga ideologi Pancasila yang waktu itu sangat diperlukan. Visi humaniora yang membentuk kepribadian nasional diawali oleh Driyarkara dari paham tentang manusia sebagai persona. Paham sebagai manusia sebagai persona ini kemudian mensyarakatkan adanya pendidikan yang memiliki tujuan dasar untuk menyempurnakan persona. Dalam konteks kebangsaan, perkembangan persona melalui pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kepribadian nasional sebagai pangkal dan tujuan pendidikan itu sendiri. Visi humaniora Driyarkara ini secara jelas kemudian tertuju pada dua arah yang saling berkaitan, yaitu penyempurnaan persona dan pembangunan kepribadian nasional.

Manusia = Persona, Pendidikan sebagai Hominisasi  dan Humanisasi
            Manusia adalah dwaita-adwaita atau suatu realitas dwi-tunggal yang merupakan kesatuan jiwa-badan atau rasio-tubuh. Driyarkara mendasarkan pemikirannya ini dengan berangkat dari pengalaman setiap manusia, bahwa dalam dan dengan pengalaman kita sendiri atas diri kita sebagai jasmani, kita mengalami kita sendiri sebagai rohani (KLD, 108). Kesatuan tersebut adalah kebenaran fundamental yang harus digunakan dalam memandang semua gejala kehidupan manusia: moral, kebudayaan, kesenian, pendidikan jasmani, dan lain-lain. Aspek kesatuan (unity) sebagai persona tampak saat manusia dapat berkata Aku dengan sadar dan insyaf. Persona adalah subjek yang tercinta dan harus disambut dengan cinta, yang selalu dalam upaya menuju kesempurnaan melalui aspek relasional (KLD, 154-155).
            Karena aspek kesatuan jasmani-rohani, persona adalah sesuatu yang bernilai dalam dirinya, yang dalam komunikasi atau relasi berdiri sendiri sebagai kediri-sendirian dalam kodrat rohani (KLD, 114). Hal yang menonjol dari persona adalah aspek kesempurnaan. Fungsi pendidikan ditujukan agar manusia menjadi sempurna dan harus menjadi sempurna. Manusia adalah persona yang perlu dipersonisasikan. Hal tersebut, dari tradisi pendidikan sejak Yunani Kuno, dimaknai sebagai arah perjalanan ke depan yang dikenal sebagai "humanoira"  atau proses menjadi lebih manusiawi (Sudiarja, 2014:183). Pendidikan humaniora bertujuan menjadikan manusia "berdaulat", bertahta, "kediri-sendirian" - manusia sendirilah yang menetapkan dirinya!
            Dalam paham dasar persona di atas, dapat dipahami bahwa pokok utama dari persoalan pendidikan adalah manusia (Sudiarja, 2014:182). Hal tersebut disebabkan karena hanya manusia yang memiliki kesadaran, pertimbangan baik-buruk, dan juga orientasi menjadi lebih baik. Bagi Driyarkara, pendidikan harus dilihat dalam proses homininasi dan humanisasi. Hominisasi adalah proses pendidikan umum guna menyadarkan seseorang sebagai manusia, sedangkan humanisasi berkaitan dengan proses pendidikan selanjutnya yang menghasilkan kebudayaan dan perilaku halus, terukur, dan memperlihatkan peradaban. (Sudiarja, 2014:183). Visi humaniora dalam kacamata personalisme dapat diartikan pula bahwa pendidikan adalah proses "personisasi" - penyempurnaan terus menerus untuk mencapai "kepribadian" yang penuh.

Kepribadian Nasional sebagai "pangkal tolak" dan "tujuan" Pendidikan
            Realitas menunjukkan bahwa pengenalan diri persona tercipta melalui proses pemberian arti pada alam hidupnya. Sebagai contoh, relasi persona dalam masyarakat mampu memberi arti tentang siapakah dirinya, dan gerak relasi itu sendiri secara timbal balik menghasilkan budaya (KLD, 323). Gerak pengenalan diri tersebut adalah dasar kepribadian nasional yang merupakan "pangkal tolak" dan "tujuan" dari seluruh pembudayaan yang disebut sebagai pendidikan. Menjadi pangkal tolak sebab penemuan diri persona tidak dapat dilepaskan dari lokalitasnya. Menjadi tujuan karena pendidikan sebagai penyempurnaan persona juga berarti penyempurnaan lokalitasnya tersebut.
            Proses perumusan kepribadian nasional sesungguhnya tidak dapat dilepaskan muatan kebudayaan lokal yang harus ditanamkan dalam pendidikan (Sudiarja, 2014:191). Pendidikan dalam konteks kebangsaan adalah suatu pembudayaan yang merupakan  proses "memasyarakat" persona. Persona yang hadir dalam kesatuan gerak, kebersamaan, dan co-eksistensi dalam communio adalah aspek-aspek  dalam proses pembangunan kepribadian nasional. Kepribadian nasional sendiri kemudian menjadi suatu syarat fundamental bagi eksistensi suatu masyarakat dalam kerangka pergaulan dengan masyarakat-masyarakat lainnya.  
           
MERUMUSKAN (KEMBALI) KEPRIBADIAN NASIONAL BERBASIS PENDIDIKAN YANG PERSONALIS: Memulihkan Peran Orangtua, Memurnikan Prinsip Lembaga Pendidikan, Melahirkan Pribadi yang Kritis
            Berdasarkan visi humaniora Driyarkara di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan personalis mampu mengembangan persona manusia sekaligus sebagai dasar pembentukan pembangunan nasional. Melihat realitas realitas Indonesia dewasa ini, pendidikan personalis pertama-tama harus mampu terlepas dari tujuan pragmatis yang stato-sentris. Pendidikan nasional yang selama ini hanya berfokus pada kepentingan negara hanya akan menjadikan manusia sebagai "alat" atau bahkan "komoditas" untuk kepentingan negara. Pendidikan model pragmatis  ini sebenarnya telah menunjukkan berbagai kegagalan, antara lain dengan tidak terciptanya struktur sosial serta pribadi-pribadi yang cenderung individualis karena dunia kerja dan sosial dinilai sebagai bentuk persaingan - dan dengan demikianlah kepribadian nasional tidak terbentuk!
            Dunia pendidikan nasional harus beralih pada esensi pendidikan, yaitu penyempurnaan persona dan penanaman nilai serta keterampilan. Pendidikan personalis dapat menjadi jalan yang tepat ditengah arus global dehumanisasi yaitu individualis, ketika orang memiliki orientasi hidup untuk diri sendiri, dan juga kolektivisme, yaitu ketika orang menjadi anonim di dan "pengikut" arus massa. Pendidikan personalis merupakan fondasi kepribadian nasional, sebab pemenuhan kesempurnaan pribadi sekaligus kemajuan hidup sosial mendapatkan penekanan yang seimbang. Akan tetapi, siapa yang seharusnya menjadi agen perubahan ini? Berangkat dari visi humaniora Driyarkara, pendidikan personalis harus berangkat dari peran orang tua dengan menyertakan negara dalam porsi yang tepat.
            Driyarkara menyatakan bahwa pendidikan adalah hal dan kewajiban orang tua, di mana pendidikan adalah dalam keluarga berfokus hominisasi atau penanaman nilai-nilai dasar. Maka tidak dapat dipungkiri bahwa anak sebagai kontinuitas keluarga harus dididik dalam nuansa keluarga yang stabil sehingga nilai-nilai personalitas dasar dapat terintegrasi, seperti kejujuran, keteladanan, dll. Dengan memenuhi hak dan kewajibannya dalam pendidikan dasar kepada anak, orang tua sesungguhnya telah berperan berdasarkan kodrat kesatuan keluarga dalam menjadikan keluarga sebagai sel masyarakat. Dengan menempatkan keluarga sel masyarakat, maka akan timbul kesatuan yang organis dalam masyarakat di mana kepribadi nasional mudah ditemukan di dalamnya.    
            Dalam pendidikan personalis, negara memiliki kewajiban negara untuk mengakui, melindungi, dan membantu pelaksanaan hak dan kewajiban orang tua tersebut itu. Negara berperan secara lebih lanjut dengan memperkuat aspek humanisasi dalam pendidikan melalui pengembangan bidang-bidang keahlian dengan tetap selaras aspek personalitas dan gerak visi negara. Dalam hal ini, negara juga memiliki tugas "mendidik", yang bersumber dari fakta bahwa perkembangan negara tergantung dari adanya pendidikan dan pengajaran yang baik. Pendidikan dan pengajaran yang baik ini pertama-tama harus diwujudkan negara dengan memperkuat keluarga sebagai sel masyarakat serta menyediakan institusi-institusi pendidikan yang terjangkau untuk semua kalangan. Meskipun dinilai lebih memahami tentang tujuan kehidupan bersama, peran negara harus ditempatkan secara proporsional dan tidak dapat mengambil alih hak dan kewajiban mendidik dari orang tua.
            Dalam taraf selanjutnya, kepribadian nasional akan terbentuk melalui pendidikan berbasis persona yang menekankan adanya kesadaran akan tugas mendidik orang tua serta peran negara yang proporsional. Akan tetapi, dengan melihat bahwa globalisasi telah merasuk dalam berbagai sendi kehidupan, gerak perumusan kepribadian nasional yang kontekstual pertama-tama harus diarahkan pada terbentuknya pribadi-pribadi warga negara yang kritis. Sikap kritis ini adalah elemen dasar dalam perumusan kepribadian nasional. Pribadi yang kritis adalah pribadi mampu melihar keseluruhan, keselarasan, dan peka akan ketidaksesuaian dalam realitas sosial (Hartoko, 1985:72). Melalui sikap kritis inilah, pribadi-pribadi dapat memulai merefleksikan kembali kepribadian khas Indonesia yang menjadi fundamen dalam pendidikan yang personalis.


***
 

SUMBER BACAAN
DRIYARKARA, N., Karya Lengkap Driyarkara, (pen. A.  Sudiarja SJ, G. Budi Subanar SJ, St. Sunardi, dan T. Sarkim), Kanisius-Kompas-Gramedia, Jakarta 2006 (disingkat KLD dalam rujukan)
HARTOKO, DICK, Memanusiakan Manusia Muda, Kanisius, Yogyakarta 1985
SUDIARJA, Pendidikan dalam Tantangan Zaman, Kanisius, Yogyakarya 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar