http://www.oceansbridge.ca |
"Kamu bisa pakai model baju apa saja.Tapi, satu yang pasti, kamu sama sekali nggak akan terlihat cantik kalau kamu nggak nyaman dengan yang kamu pakai."[1]
Kalimat
di atas adalah kalimat dalam halaman pertama buku Ririe Bogar yang berjudul
"Cantik Itu Ejaannya Bukan K.U.R.U.S". Judul buku tersebut ingin
menyampaikan suatu pemaknaan "baru" dan personal kepada para
perempuan yang berbadan besar seperti dirinya. Ririe Bogar juga ingin
menyampaikan bahwa perempuan bertubuh besar tidak perlu minder sebab kecantikan
perempuan tidak hanya diukur dari bentuk fisik semata.
Secara lebih luas, buku tersebut ia tujukan kepada para perempuan yang tidak pernah merasa menjadi dirinya sendiri karena terus-menerus mengejar penampilan fisik yang ideal seturut pandangan orang banyak. Di samping itu, ia juga ingin menyatakan dukungan moril kepada mereka yang di-bully karena memiliki tubuh fisik yang tidak sesuai dengan pandangan orang banyak tersebut.
Secara lebih luas, buku tersebut ia tujukan kepada para perempuan yang tidak pernah merasa menjadi dirinya sendiri karena terus-menerus mengejar penampilan fisik yang ideal seturut pandangan orang banyak. Di samping itu, ia juga ingin menyatakan dukungan moril kepada mereka yang di-bully karena memiliki tubuh fisik yang tidak sesuai dengan pandangan orang banyak tersebut.
Buku
karya Ririe Bogar di atas dapat dilihat sebagai bentuk curahan hati sekaligus
sikap diri yang otonom dari perempuan yang merasa termarjinalkan oleh pandangan
orang banyak tentang perempuan. Tidak dapat dipungkiri bahwa derasnya arus
informasi media massa telah membawa bentuk-bentuk pandangan baru dalam
masyarakat, salah satunya tentang konsep cantik. Masyarakat modern ditandai
dengan pengagungan tubuh fisik, di mana salah satunya adalah konsep
"cantik" yang dinilia lekat dengan tubuh fisik saja. Hal tersebut
tampak dalam wacana tentang tubuh fisik yang beredar luas dalam masyarakat, misalnya
tentang body building, aerobik, tari, bedah plastik, salon kecantikan,
terapi kecantikan, dll.[2] Fenomena ini juga menandai satu fase dalam masyarakat
modern bahwa tubuh materi dipuja sedangkan aspek otonomi dan spiritualitas
tubuh mulai dilupakan.
Akan
tetapi, mengapa tubuh perempuan selalu menjadi bahan yang "seksi"
untuk diperbincangkan? Dari sudut pandang filsafat, hal tersebut tidak lepas
dari gerakan feminis yang mempermasalahkan kontrol terhadap perempuan dan
penindasan perempuan oleh budaya patriarkal.[3]
Pembahasan tersebut kini berkembang seiring dengan
peran media massa yang justru mensubjeksi dan menjadikan tubuh perempuan
sebagai komoditas. Tantangan ini menunjukkan bahwa harus ada jalan konstekstual
bagi perempuan untuk mengungkap identitasnya sebagai perempuan. Gerakan
post-feminis yang berakar dari pemikiran Michel Foucault menawarkan suatu cara
baru dalam upaya mengungkap identitas "baru" tersebut.
Wacana
Perempuan Modern dalam Kacamata Postfeminisme
Postfeminisme adalah gerakan feminisme kontemporer
yang berupaya menyingkap mekanisme kerja kuasa dalam masyarakat modern,
khususnya yang melingkupi dunia perempuan. Postfeminisme bertolak dari
pandangan Michel Foucault, seorang pemikir Prancis, yang menyatakan bahwa kuasa
yang melahirkan pengetahuan senantiasa bergerak mensubjeksi. Foucault berangkat
dari budaya Eropa yang berciri scientia sexualis, yaitu adanya
prosedur-prosedur kuasa untuk mensensor pembahasan tentang seksualitas sebagai
hal yang tabu, sehingga orang patuh untuk tidak membicarakannya.[4] Gagasan
Foucault tersebut memberi kontribusi yang signifikan bagi feminis
untuk mengkritik gender sebagai suatu konstruksi sosial yang tidak kodrati.
Postfeminisme secara umum ingin menyatakan penindasan perempuan bukan hanya
berasal dari struktur patriarkal namun juga peran kuasa dalam bentuk wacana
tentang perempuan itu sendiri.[5]
Sekitar akhir tahun 1970-an, para feminis yang bergerak
dalam analisis tentang budaya populer menemukan bahwa media massa adalah bentuk
kuasa baru yang menindas perempuan. Para feminis tahun-tahun tersebut menemukan
bahwa media massa mengembangkan wacana tentang kebenaran tunggal tentang
masalah perempuan. Para feminis melihat bahwa ada politik representasi dari
praktik media.[6]
Politik representasi tersebut ditemukan dalam perempuan yang direpresentasi
dalam genre perempuan. Konsep yang diinjeksi oleh media massa tersebut tampak
dalam tayangan-tayangan yang
berfokus pada pengalaman perempuan, misalnya opera sabun dan kisah percintaan
yang awalnya dinilai sampah dan kemudian justru menjadi legitim.[7]
Politik representasi media massa menggunakan pendekatan produksi
dalam mensubjeksi perempuan. Pada awal perkembangan pendekatan ini, perempuan
ditempatkan sebagai ruang pasar baru bagi produk-produk kapital melalui
penciptaan wacana wanita yang ideal. Misalnya, gambaran wanita yang ideal
ditempatkan oleh media massa dalam tayangan tayangan percintaan dan
sehingga perempaun kemudian tertarik untuk membeli produk produk yang identik
dengan perempuan ideal tersebut.[8]
Para penikmat media massa, khususnya perempuan,
menjadi objek yang patuh dan tidak kritis karena tidak adanya ruang untuk
berefleksi di tengah derasnya arus informasi tersebut. Dalam hal ini, para
feminis mengkritik konseptualisasi gender sebagai kategori yang terpisah
dari makna yang secara historis stabil dan universal, di mana semua pengalaman
perempuan dianggap sama yang tidak memberi ruang identitas bagi perempuan.[9]
Dalam perkembangan teknologi informasi khususnya media
massa, wacana perempuan juga berkembang pada politik tubuh perempuan. Politik
tubuh perempuan ini memuat suatu pandangan bahwa makna kebertubuhan perempuan
terdapat hanya pada aspek fisiknya sehingga dapat diperjualbelikan. Sama
seperti pola media massa awali yang bergerak terselubung, wacana politik tubuh
juga berkedok manis, misalnya dalam perhelatan tubuh yang dikemas dalam kontes
kontes kecantikan.[10]
Dalam perhelatan tersebut, tubuh perempuan ditempatkan sebagai public space yang
justru menyamarkan kepentingan pemodal di balik perhelatan tersebut. Fenomena
ini secara gamblang menyatakan bahwa identitas dan otonomi perempuan yang
terdapat dalam keberkuasaan atas tubuhnya sendiri telah hilang dihadapan uang
yang ditawaran pemodal.
Kuasa media massa modern yang menempatkan perempuan
sebagai pasar sekaligus komoditas merupakan apa yang disebut oleh Foucault
sebagai bentuk "pe-liyan-an" bagi
perempuan sendiri.[11]
Konsep liyan ini menjelaskan situasi seseorang marjinal yang tidak
mempunyai akses pada pusat kekuasaan. Perempuan dewasa ini telah menjadi subjek
yang patuh dan tidak kritis, sehingga tidak secara langsung mereka juga tidak
memiliki akses untuk menanyakan kembali konsep konsep kebenaran tentang
perempuan yang didefinisikan oleh pusat kekuasaan, yaitu budaya populer yang
diciptakan oleh media massa. Citra-citra
tentang perempuan yang ideal dalam media massa semakin mendominasi
pengertian perempuan tentang realitas dan cara perempuan mendefinisikan diri
sendiri dan dunia di sekitar.[12]
Media adalah realitas itu sendiri dan perempuan
modern seakan tidak dapat hidup di luar realitas yang telah dilebih-lebihkan
tersebut.
Berangkat dari realitas bahwa perempuan telah tersubjeksi
oleh kuasa wacana media massa, dan perempuan sendiri juga tidak sadar akan
ketertindasannya, para postfeminis menekankan perjuangan mereka pada
"pembebasan" perempuan yang sesungguhnya.[13]
"Pembebasan" yang sesungguhnya tersebut hadir ketika perempuan
menemukan kembali haknya dalam mempertanyakan dan mengonstruksi identitas
dirinya sebagai manusia yang bebas. "Pembebasan" yang sesungguhnya
ini juga harus berangkat dari kesadaran bahwa perempuan tidak akan pernah lepas
dari pusaran kuasa budaya populer. Meskipun demikian, selalu ada ruang untuk
menjadi diri sendiri bila seorang perempuan mau mengambil jarak terhadap
pengetahuan-pengetahuan yang mensubjeksi dirinya.
Sebuah
Jalan Rekonstruksi Identitas: Perempuan sebagai Subjek Etis
Dalam merumuskan visi "pembebasan"
perempuan yang sesungguhnya, para postfeminis bertitiktolak dari pandangan
Foucault bahwa subjek sebenarnya sudah mati. Subjek adalah objek yang
disubjeksi oleh wacana dari "bio-kekuasaan"
di mana pengetahuan-pengetahuan yang dihasilkan adalah agen transformasi
kehidupan manusia.[14] Dalam pandagan ini subjek
sebenarnya sudah mati. Foucault menawarkan pandangan tentang subjek etis, yaitu
subjek yang tidak sama sekali terlepas dari kekuasaan atau pengetahuan. Subjek
etis memiliki kesadaran bahwa ia disubjeksi, namun dengan sadar ia menjadi
"tuan" yang mengarahkan dirinya sesuai dengan tujuan yang ia
inginkan. Subjek etis merupakan cara berada baru di mana ia terus-menerus
mentransformasikan diri dengan berpijak pada ke-diri-an sebagai sumber proyek
kehidupan.[15]
Berangkat dari pemikitan Foucault tentang subjek etis, para
postfeminis menyatakan bahwa ada ruang bagi perempuan untuk melakukan
perlawanan pada kuasa media dalam dunia perempuan modern. Foucault menyatakan
bahwa kuasa selalu bergerak pada tataran mikro, sehingga perlawanan yang
kontekstual adalah dengan menarik garis identitas terhadap kuasa yang bergerak
mendisiplinkan dan normalisasi. Dalam dunia perempuan, para postfeminis
menyarankan agar perempuan modern berani menolak identitas yang dinilai purna,
tetap, dan bawaan.[16]
Para perempuan modern perlu berhati-hati
terhadap wacana atau gagasan politis yang berdasar ide yang purna tentang
hakikat perempuan. Melaui sikap hati-hati
dan kritis ini, perempuan kemudian dapat mengambil jarak terhadap realitas dan
kemudian mengarahkan diri dengan penuh dedikasi pada proyek-proyek diri yang
lebih esensial.
Ririe Bogar, penulis buku "Cantik Itu Ejaannya Bukan K.U.R.U.S" yang
menjadi prolog tulisan ini, adalah salah satu contoh perempuan yang mampu
menumbuhkan cara berada baru dalam pengungkapan identitasnya. Ririe Bogar dan
para perempuan gendut lain adalah pribadi-pribadi yang termarjinalkan oleh
budaya populer "kekorea-koreaan" atau "kebarat-baratan"
yang mendefinisikan kecantikan perempuan pada tubuh yang kutilang (baca:
kurus-tinggi-langsing). Realitas yang tidak nyata inilah yang menjadikan
mereka, para perempuan di luar kategori kutilang,
mendapatkan stigma jelek hingga pada perlakuan bullying baik dalam
kehidupan nyata maupun dunia maya. Tidak banyak dari mereka yang di luar
kategori kutilang yang mampu memaknai identitas mereka, sementara yang
lain tenggelam dalam kepatuhan atau justru berjuang secara buta untuk memenuhi
tuntutan budaya populer tersebut.
Kalimat "Cantik
Itu Ejaannya Bukan K.U.R.U.S" merupkan refleksi-kritis
dari Ririe Bogar yang bersumber dari perlawannya akan identitas purna bahwa
cantik itu selalu kurus. Ririe Bogar menunjukkan bahwa selalu ada ruang bagi
mereka yang mau menarik diri dari realitas untuk merekonstruksi identitas diri.
Upaya rekonstruksi tersebut dilakukan Ririe dengan melihat secara lebih
mendalam tentang apa itu kecantikan dan memang kecantikan tidak dapat dipandang
dari aspek fisik semata. Ririe Bogar telah menunjukkan bahwa kecantikan yang
direduksi dari segi fisik semata akan memarjinalkan mereka yang seharusnya
mendapatkan tempat untuk menggali identitas dan mengembangkan proyek-proyek dirinya.
Maka tidak salah apabila buku Ririe Bogar tersebut melejit sebagai
best-seller hanya dalam waktu satu bulan setelah di-launching 3
September lalu, sebab ia telah memulai "perlawanan" mikro yaitu dalam
komitmen untuk merumuskan identitasnya sendiri.
***
Sumber Buku dan
Jurnal:
BADHICK, KLETHUS, Wacana
Tubuh Perempuan, Jurnal Filsafat Driyarkara Tahun XXVIII no. 3/2006
FOUCAULT, MICHEL, Sejarah
Seksualitas: Seks dan Kekuasaan (terj.), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
1997
GEMBLE, SARAH, (ed), Pengantar
Memahami Feminisme dan Postfeminisme (terj.), Jalasutra, Yogyakarta 2010
NUGROHO, RIANT, Gender dan Strategi
Pengarus-Utamaannya di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2008
Sumber Koran:
CANDRA, DIAR, Sempat Rendah Diri, Diet Keras, dan Akhirnya Sakit, Jawa Pos, 23 Oktober 2015
Sumber Internet:
http://www.iep.utm.edu/foucfem
(diases pada Selasa, 17 November 2015, pukul 18.13 WIB)
[1] DIAR CANDRA, Sempat
Rendah Diri, Diet Keras, dan Akhirnya Sakit, Jawa
Pos, 23 Oktober 2015
[2] KLETHUS BADHICK, Wacana
Tubuh Perempuan, Jurnal Filsafat Driyarkara Tahun XXVIII no. 3/2006, 11
[3] Ibid.
[4] MICHEL FOUCAULT, Sejarah
Seksualitas: Seks dan Kekuasaan (terj.), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
1997, 70
[5]
http://www.iep.utm.edu/foucfem (diases pada Selasa, 17 November 2015, pukul
18.13 WIB)
[6] SARAH GEMBLE,
(ed), Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme (terj.), Jalasutra,
Yogyakarta 2010, 130
[7] Ibid., 135
[8] Ibid., 135
[9] Ibid., 136
[10] Op.Cit., KLETHUS BADHICK, 15
[11] Op.Cit., SARAH
GEMBLE, 236
[12] Op.Cit., SARAH
GEMBLE, 137
[13] RIANT NUGROHO, Gender
dan Strategi Pengarus-Utamaannya di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
2008, 83
[14] Op.Cit., MICHEL FOUCAULT, 177
[15] http://www.iep.utm.edu/foucfem
(diases pada Selasa, 17 November 2015, pukul 18.13 WIB)
[16] http://www.iep.utm.edu/foucfem
(diases pada Selasa, 17 November 2015, pukul 18.13 WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar