Halaman

Sabtu, 09 Januari 2016

PEREMPUAN, MEDIA MASSA, DAN IDENTITAS



http://www.oceansbridge.ca

"Kamu bisa pakai model baju apa saja.Tapi, satu yang pasti, kamu sama sekali nggak akan terlihat cantik kalau kamu nggak nyaman dengan yang kamu pakai."[1]

           Kalimat di atas adalah kalimat dalam halaman pertama buku Ririe Bogar yang berjudul "Cantik Itu Ejaannya Bukan K.U.R.U.S". Judul buku tersebut ingin menyampaikan suatu pemaknaan "baru" dan personal kepada para perempuan yang berbadan besar seperti dirinya. Ririe Bogar juga ingin menyampaikan bahwa perempuan bertubuh besar tidak perlu minder sebab kecantikan perempuan tidak hanya diukur dari bentuk fisik semata.
Secara lebih luas, buku tersebut ia tujukan kepada para perempuan yang tidak pernah merasa menjadi dirinya sendiri karena terus-menerus mengejar penampilan fisik yang ideal seturut pandangan orang banyak. Di samping itu, ia juga ingin menyatakan dukungan moril kepada mereka yang di-bully karena memiliki tubuh fisik yang tidak sesuai dengan pandangan orang banyak tersebut.

            Buku karya Ririe Bogar di atas dapat dilihat sebagai bentuk curahan hati sekaligus sikap diri yang otonom dari perempuan yang merasa termarjinalkan oleh pandangan orang banyak tentang perempuan. Tidak dapat dipungkiri bahwa derasnya arus informasi media massa telah membawa bentuk-bentuk pandangan baru dalam masyarakat, salah satunya tentang konsep cantik. Masyarakat modern ditandai dengan pengagungan tubuh fisik, di mana salah satunya adalah konsep "cantik" yang dinilia lekat dengan tubuh fisik saja. Hal tersebut tampak dalam wacana tentang tubuh fisik yang beredar luas dalam masyarakat, misalnya tentang body building, aerobik, tari, bedah plastik, salon kecantikan, terapi kecantikan, dll.[2] Fenomena ini juga menandai satu fase dalam masyarakat modern bahwa tubuh materi dipuja sedangkan aspek otonomi dan spiritualitas tubuh mulai dilupakan.
            Akan tetapi, mengapa tubuh perempuan selalu menjadi bahan yang "seksi" untuk diperbincangkan? Dari sudut pandang filsafat, hal tersebut tidak lepas dari gerakan feminis yang mempermasalahkan kontrol terhadap perempuan dan penindasan perempuan oleh budaya patriarkal.[3] Pembahasan tersebut kini berkembang seiring dengan peran media massa yang justru mensubjeksi dan menjadikan tubuh perempuan sebagai komoditas. Tantangan ini menunjukkan bahwa harus ada jalan konstekstual bagi perempuan untuk mengungkap identitasnya sebagai perempuan. Gerakan post-feminis yang berakar dari pemikiran Michel Foucault menawarkan suatu cara baru dalam upaya mengungkap identitas "baru" tersebut.    

Wacana Perempuan Modern dalam Kacamata Postfeminisme
            Postfeminisme adalah gerakan feminisme kontemporer yang berupaya menyingkap mekanisme kerja kuasa dalam masyarakat modern, khususnya yang melingkupi dunia perempuan. Postfeminisme bertolak dari pandangan Michel Foucault, seorang pemikir Prancis, yang menyatakan bahwa kuasa yang melahirkan pengetahuan senantiasa bergerak mensubjeksi. Foucault berangkat dari budaya Eropa yang berciri scientia sexualis, yaitu adanya prosedur-prosedur kuasa untuk mensensor pembahasan tentang seksualitas sebagai hal yang tabu, sehingga orang patuh untuk tidak membicarakannya.[4] Gagasan Foucault tersebut memberi kontribusi yang signifikan bagi feminis untuk mengkritik gender sebagai suatu konstruksi sosial yang tidak kodrati. Postfeminisme secara umum ingin menyatakan penindasan perempuan bukan hanya berasal dari struktur patriarkal namun juga peran kuasa dalam bentuk wacana tentang perempuan itu sendiri.[5]
            Sekitar akhir tahun 1970-an, para feminis yang bergerak dalam analisis tentang budaya populer menemukan bahwa media massa adalah bentuk kuasa baru yang menindas perempuan. Para feminis tahun-tahun tersebut menemukan bahwa media massa mengembangkan wacana tentang kebenaran tunggal tentang masalah perempuan. Para feminis melihat bahwa ada politik representasi dari praktik media.[6] Politik representasi tersebut ditemukan dalam perempuan yang direpresentasi dalam genre perempuan. Konsep yang diinjeksi oleh media massa tersebut tampak dalam tayangan-tayangan yang berfokus pada pengalaman perempuan, misalnya opera sabun dan kisah percintaan yang awalnya dinilai sampah dan kemudian justru menjadi legitim.[7]
            Politik representasi media massa menggunakan pendekatan produksi dalam mensubjeksi perempuan. Pada awal perkembangan pendekatan ini, perempuan ditempatkan sebagai ruang pasar baru bagi produk-produk kapital melalui penciptaan wacana wanita yang ideal. Misalnya, gambaran wanita yang ideal ditempatkan oleh media massa dalam tayangan tayangan percintaan dan sehingga perempaun kemudian tertarik untuk membeli produk produk yang identik dengan perempuan ideal tersebut.[8] Para penikmat media massa, khususnya perempuan, menjadi objek yang patuh dan tidak kritis karena tidak adanya ruang untuk berefleksi di tengah derasnya arus informasi tersebut. Dalam hal ini, para feminis mengkritik konseptualisasi gender sebagai kategori yang terpisah dari makna yang secara historis stabil dan universal, di mana semua pengalaman perempuan dianggap sama yang tidak memberi ruang identitas bagi perempuan.[9]
            Dalam perkembangan teknologi informasi khususnya media massa, wacana perempuan juga berkembang pada politik tubuh perempuan. Politik tubuh perempuan ini memuat suatu pandangan bahwa makna kebertubuhan perempuan terdapat hanya pada aspek fisiknya sehingga dapat diperjualbelikan. Sama seperti pola media massa awali yang bergerak terselubung, wacana politik tubuh juga berkedok manis, misalnya dalam perhelatan tubuh yang dikemas dalam kontes kontes kecantikan.[10] Dalam perhelatan tersebut, tubuh perempuan ditempatkan sebagai public space yang justru menyamarkan kepentingan pemodal di balik perhelatan tersebut. Fenomena ini secara gamblang menyatakan bahwa identitas dan otonomi perempuan yang terdapat dalam keberkuasaan atas tubuhnya sendiri telah hilang dihadapan uang yang ditawaran pemodal.
            Kuasa media massa modern yang menempatkan perempuan sebagai pasar sekaligus komoditas merupakan apa yang disebut oleh Foucault sebagai bentuk "pe-liyan-an" bagi perempuan sendiri.[11] Konsep liyan ini menjelaskan situasi seseorang marjinal yang tidak mempunyai akses pada pusat kekuasaan. Perempuan dewasa ini telah menjadi subjek yang patuh dan tidak kritis, sehingga tidak secara langsung mereka juga tidak memiliki akses untuk menanyakan kembali konsep konsep kebenaran tentang perempuan yang didefinisikan oleh pusat kekuasaan, yaitu budaya populer yang diciptakan oleh media massa.  Citra-citra  tentang perempuan yang ideal dalam media massa semakin mendominasi pengertian perempuan tentang realitas dan cara perempuan mendefinisikan diri sendiri dan dunia di sekitar.[12] Media adalah realitas itu sendiri dan perempuan modern seakan tidak dapat hidup di luar realitas yang telah dilebih-lebihkan tersebut.
            Berangkat dari realitas bahwa perempuan telah tersubjeksi oleh kuasa wacana media massa, dan perempuan sendiri juga tidak sadar akan ketertindasannya, para postfeminis menekankan perjuangan mereka pada "pembebasan" perempuan yang sesungguhnya.[13] "Pembebasan" yang sesungguhnya tersebut hadir ketika perempuan menemukan kembali haknya dalam mempertanyakan dan mengonstruksi identitas dirinya sebagai manusia yang bebas. "Pembebasan" yang sesungguhnya ini juga harus berangkat dari kesadaran bahwa perempuan tidak akan pernah lepas dari pusaran kuasa budaya populer. Meskipun demikian, selalu ada ruang untuk menjadi diri sendiri bila seorang perempuan mau mengambil jarak terhadap pengetahuan-pengetahuan yang mensubjeksi dirinya.

Sebuah Jalan Rekonstruksi Identitas: Perempuan sebagai Subjek Etis
            Dalam merumuskan visi "pembebasan" perempuan yang sesungguhnya, para postfeminis bertitiktolak dari pandangan Foucault bahwa subjek sebenarnya sudah mati. Subjek adalah objek yang disubjeksi oleh wacana dari "bio-kekuasaan" di mana pengetahuan-pengetahuan yang dihasilkan adalah agen transformasi kehidupan manusia.[14] Dalam pandagan ini subjek sebenarnya sudah mati. Foucault menawarkan pandangan tentang subjek etis, yaitu subjek yang tidak sama sekali terlepas dari kekuasaan atau pengetahuan. Subjek etis memiliki kesadaran bahwa ia disubjeksi, namun dengan sadar ia menjadi "tuan" yang mengarahkan dirinya sesuai dengan tujuan yang ia inginkan. Subjek etis merupakan cara berada baru di mana ia terus-menerus mentransformasikan diri dengan berpijak pada ke-diri-an sebagai sumber proyek kehidupan.[15]
            Berangkat dari pemikitan Foucault tentang subjek etis, para postfeminis menyatakan bahwa ada ruang bagi perempuan untuk melakukan perlawanan pada kuasa media dalam dunia perempuan modern. Foucault menyatakan bahwa kuasa selalu bergerak pada tataran mikro, sehingga perlawanan yang kontekstual adalah dengan menarik garis identitas terhadap kuasa yang bergerak mendisiplinkan dan normalisasi. Dalam dunia perempuan, para postfeminis menyarankan agar perempuan modern berani menolak identitas yang dinilai purna, tetap, dan bawaan.[16] Para perempuan modern perlu berhati-hati terhadap wacana atau gagasan politis yang berdasar ide yang purna tentang hakikat perempuan. Melaui sikap hati-hati dan kritis ini, perempuan kemudian dapat mengambil jarak terhadap realitas dan kemudian mengarahkan diri dengan penuh dedikasi pada proyek-proyek diri yang lebih esensial.
            Ririe Bogar, penulis buku "Cantik Itu Ejaannya Bukan K.U.R.U.S" yang menjadi prolog tulisan ini, adalah salah satu contoh perempuan yang mampu menumbuhkan cara berada baru dalam pengungkapan identitasnya. Ririe Bogar dan para perempuan gendut lain adalah pribadi-pribadi yang termarjinalkan oleh budaya populer "kekorea-koreaan" atau "kebarat-baratan" yang mendefinisikan kecantikan perempuan pada tubuh yang kutilang (baca: kurus-tinggi-langsing). Realitas yang tidak nyata inilah yang menjadikan mereka, para perempuan di luar kategori kutilang, mendapatkan stigma jelek hingga pada perlakuan bullying baik dalam kehidupan nyata maupun dunia maya. Tidak banyak dari mereka yang di luar kategori kutilang yang mampu memaknai identitas mereka, sementara yang lain tenggelam dalam kepatuhan atau justru berjuang secara buta untuk memenuhi tuntutan budaya populer tersebut.
            Kalimat "Cantik Itu Ejaannya Bukan K.U.R.U.S" merupkan refleksi-kritis dari Ririe Bogar yang bersumber dari perlawannya akan identitas purna bahwa cantik itu selalu kurus. Ririe Bogar menunjukkan bahwa selalu ada ruang bagi mereka yang mau menarik diri dari realitas untuk merekonstruksi identitas diri. Upaya rekonstruksi tersebut dilakukan Ririe dengan melihat secara lebih mendalam tentang apa itu kecantikan dan memang kecantikan tidak dapat dipandang dari aspek fisik semata. Ririe Bogar telah menunjukkan bahwa kecantikan yang direduksi dari segi fisik semata akan memarjinalkan mereka yang seharusnya mendapatkan tempat untuk menggali identitas dan mengembangkan proyek-proyek dirinya. Maka tidak salah apabila buku Ririe Bogar tersebut melejit sebagai best-seller hanya dalam waktu satu bulan setelah di-launching 3 September lalu, sebab ia telah memulai "perlawanan" mikro yaitu dalam komitmen untuk merumuskan identitasnya sendiri.



***
                 
 


Sumber Buku dan Jurnal:
BADHICK, KLETHUS, Wacana Tubuh Perempuan, Jurnal Filsafat Driyarkara Tahun XXVIII no. 3/2006
FOUCAULT, MICHEL, Sejarah Seksualitas: Seks dan Kekuasaan (terj.), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1997
GEMBLE, SARAH, (ed), Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme (terj.), Jalasutra, Yogyakarta 2010
NUGROHO, RIANT, Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2008

Sumber Koran:
CANDRA, DIAR, Sempat Rendah Diri, Diet Keras, dan Akhirnya Sakit, Jawa Pos, 23 Oktober 2015

Sumber Internet:
http://www.iep.utm.edu/foucfem (diases pada Selasa, 17 November 2015, pukul 18.13 WIB)




[1] DIAR CANDRA, Sempat Rendah Diri, Diet Keras, dan Akhirnya Sakit, Jawa Pos, 23 Oktober 2015
[2] KLETHUS BADHICK, Wacana Tubuh Perempuan, Jurnal Filsafat Driyarkara Tahun XXVIII no. 3/2006, 11
[3] Ibid.
[4] MICHEL FOUCAULT, Sejarah Seksualitas: Seks dan Kekuasaan (terj.), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1997, 70
[5] http://www.iep.utm.edu/foucfem (diases pada Selasa, 17 November 2015, pukul 18.13 WIB)
[6] SARAH GEMBLE, (ed), Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme (terj.), Jalasutra, Yogyakarta 2010, 130
[7] Ibid., 135
[8] Ibid., 135
[9] Ibid., 136
[10] Op.Cit., KLETHUS BADHICK, 15
[11] Op.Cit., SARAH GEMBLE, 236
[12] Op.Cit., SARAH GEMBLE, 137
[13] RIANT NUGROHO, Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2008, 83
[14] Op.Cit., MICHEL FOUCAULT, 177
[15] http://www.iep.utm.edu/foucfem (diases pada Selasa, 17 November 2015, pukul 18.13 WIB)
[16] http://www.iep.utm.edu/foucfem (diases pada Selasa, 17 November 2015, pukul 18.13 WIB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar