Dewasa ini,
perkembangan ilmu pengetahuan berkembang begitu pesat. Perkembangan ilmu
pengetahuan telah mempermudah banyak bidang kehidupan manusia. Orang tidak lagi
disulitkan dengan jarak geografis untuk berkirim dan bertukar informasi. Orang
juga tidak lagi kerepotan untuk bepergian ke berbagai tempat sebab kini ribuan
kilometer dapat ditempuh hanya dalam hitungan jam.
Perkembangan dalam dunia ilmu pengetahuan juga telah menunjukkan berbagai kemakjuan menyilaukan, seperti rekayasa genetika sampai dengan kloning. Dua bidang aspek kehidupan tersebut telah menunjukkan kepada kita bahwa kita memang sedang hidup di dalam dunia yang sedang “berlari” begitu pesat.
Perkembangan dalam dunia ilmu pengetahuan juga telah menunjukkan berbagai kemakjuan menyilaukan, seperti rekayasa genetika sampai dengan kloning. Dua bidang aspek kehidupan tersebut telah menunjukkan kepada kita bahwa kita memang sedang hidup di dalam dunia yang sedang “berlari” begitu pesat.
Manusia dewasa ini memang sedang
berada di dunia yang sedang “berlari”, khususnya “berlari” dalam pesatnya arus
ilmu pengetahuan. Pada awal sejak terfragmentasi dari filsafat (baca: mater scientiarum), ilmu pengetahuan
ditujukan untuk “mengabdi” pada manusia secara lebih khusus dalam
bidang-bidangnya. Dampak positif dari perkembangan ilmu pengetahuan dapat
dilihat dari meningkatnya daya kritis manusia untuk bertanya tentang segala
sesuatu. Perkembangan metode positivis dalam penyelidikan ilmu pengetahuan
menjadikan manusia begitu optimis untuk mencari hukum-hukum dan pemahaman yang
universal akan semua aspek realitas. Dengan hukum dan pemahaman universal
tersebut, manusia berharap dapat “menguasai” segala yang ada sehingga
mengembangkan hidupnya.
Satu hal yang ingin dipahami manusia
dengan metode positif ilmu pengetahuan adalah penciptaan alam semesta. Usaha
pencarian terus-menerus tersebut dapat dipahami sebagai usaha manusia untuk
menjawab satu pertanyaan hakiki: Dari manakah aku berasal? Manusia dewasa ini seakan tidak
puas dengan penjelasan dari agama-agama tentang bagaimana manusia dan alam
semesta tercipta. Pertanyaan hakiki tersebut membimbing manusia untuk terus
mencari jawaban – dengan harapan bahwa dengan tahu dari mana ia berasal maka
manusia akan tahu pula ke mana ia akan melangkah! Akan tetapi, fenomena
pencarian ini berbuah pada pertanyaan-pertanyaan kritis: Apakah
peristiwa-peristiwa hakiki seperti penciptaan akan tuntas dengan penjelasan
dari ilmu pengetahuan?Apa makna usaha pencarian ini bagi manusia secara
personal?
MANUSIA DAN ILMU PENGETAHUAN DEWASA INI
Sebelum kita berusaha memahami usaha
manusia melalui ilmu pengetahuan untuk memahami peristiwa-peristiwa hakiki
seperti penciptaan, adalah begitu mendasar untuk kita memahami bagaimana relasi
manusia dengan ilmu pengetahuan dewasa ini.
Perkembangan ilmu pengetahuan modern
yang dimulai sejak Newton telah membawa manusia pada gambaran dunia yang
mekanis – bahwa kita dapat memahami semesta beserta semua hukum-hukumnya. Dunia
dinilai mekanis dan manusia berusaha mencari jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
mendasar: Darimana alam semesta berasal? Darimanakah asal gerak? Melalui ilmu
pengetahuan manusia berusaha mencari hukum-hukum mendasar akan segala sesuatu
yang dengannya segala sesuatu dapat diprediksi. Melalui usaha memprediksi
tersebut manusia berusaha untuk menjadikan alam semesta ada untuk manusia. Hal
tersebut memiliki konsekuensi bahwa manusia akan merasa “at home” di dunia.
Ilmu pengetahuan dengan segala
geraknya merupakan gambaran bahwa dengan rasio yang dimilikinya manusia dapat
menguasai semesta. Dengan rasionya manusia berusaha dengan amat keras untuk
mencapai kebenaran. Kebenaran dalam ini dipahami sebagai penyingkapan (latin: aletheia) akan segala sesuatu dengan
daya pemahaman manusia. Akan tetapi, terkadang manusia menjadi sangat optimis
bahwa dengan rasio teknologisnya yang tercermin dalam ilmu pengetahuan semu hal
dapat tuntas. Adanya penyingkapan yang tidak tuntas dalam kebenaran-kebenaran
peristiwa hakiki seperti penciptaan semesta, menunjukkan adanya keterbatas
kemampuan manusia dalam ilmu pengetahuan.
MANUSIA MEMAHAMI ASAL DIRINYA
Melalui ilmu pengetahuan, manusia mulai memahami dan berani menarik secarik
kesimpulan bahwa proses penciptaan semesta adalah hal yang terjadi secara fisik
semata. Kesimpulan tersebut berangkat dari fakta-fakta terberi yang dapat
diukur dan dinilai akurat. Dalam penemuan ini, pemahaman akan semesta yang dinilai
transenden dan spiritual oleh agama-agama mulai ditinggalkan. Alam semesta yang
awalnya begitu luas dan misterius dapat “dijinakkan” dan diketahui
hukum-hukumnya. Hal tersebut ditunjukkan misalnya ketika dideklarasikan adanya
"partikel Tuhan" yang diyakini sebagai awal semesta. Semua dapat
dijawab secara rasional! Yang rasional itu dinilai cukup, dan nilai-nilai
spiritual (yang adalah tidak rasional dan tidak dapat diverifikasi) menyangkut
hidup manusia dinilai tidak relevan dan usang.
Fenomena ini kemudian memunculkan
suatu pertanyaan kritis: Apakah peristiwa-peristiwa hakiki seperti penciptaan
akan tuntas dengan penjelasan dari ilmu pengetahuan? Dunia dewasa ini mulai
digiring untuk lebih “mengimani” proses penciptaan yang dijelaskan oleh ilmu
pengetahuan, misalnya adalah teori Big Bang. Kita perlu ingat bahwa teori
Big-Bang sebenarnya tidak bisa
menjawab kondisi awal sebelum Big-Bang dan arah alam semesta. Dua hal tersebut diandaikan begitu saja karena memang tidak ada data yang
dapat diakses dan diteliti oleh ilmu pengetahuan. Akan tetapi, kecenderunan
ilmu pengetahuan dewasa ini adalah menilai mutlak temuan ini dan hal-hal yang
tak dapat diakses tersebut dinilai tidak ilmiah dan tidak rasional.
Ilmu pengetahuan memang tidak mampu
menjelaskan kondisi awal sebelum Big-Bang dan arah alam semesta. Di samping itu, perlu kita
ingat bahwa kebenaran santifik senantiasa bersifat probable - hanya yang fanatik akan
menganggapnya sebagai kebenaran absolut. Realitas ini
menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa hakiki seperti penciptaan bukan merupakan
peristiwa yang melulu fisik. Penciptaan harus dipahami sebagai peristiwa
metafisik di mana bukan hanya menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan yang
digunakan. Pada titik inilah ditemukan bahwa manusia bukanlah mahkluk yang
mekanis dan determinis karena ia dan alam semesta yang menaunginya memiliki
aspek metafisik dan spiritual.
MANUSIA: PERSONA YANG FISIK DAN SPIRITUAL
Penjelasan di atas tentang upaya manusia memahami dirinya mengantar kita
pada pemahaman filosofis tentang penciptaan sebagai suatu yang fisik sekaligus
metafisik. Penciptaan bersifat fisik artinya bahwa teori-teori dari ilmu pengetahuan,
seperti Big Bang, adalah dapat diterima namun selalu ada hal yang metafisik
berada dibalik itu, sebagai suatu contoh:siapa
yang menciptakan "partikel tuhan"? Paham penciptaan akan berimplikasi pada semua aspek hidup
manusia: manusia sebagai bagian semesta sebenarnya sedang mencari "siapa
aku" - darimanakah aku berasal dan tujuan kemana aku pergi. Bila penciptaan yang melulu dipahami sebagai suatu yang
mekanis (fisik) berarti mereduksi sisi spiritualitas semesta, di mana
nilai-nilai yang universal adalah eksis. Sebab, nilai-nilai universal harus
juga bersumber dari hal yang spiritual.
Penciptaan
yang dipahami secara fisik saja berarti pula asal dan tujuan hidup manusia
adalah tidak jelas, seperti
asal dan tujuan semesta yang tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan fisik. Maka, penciptaan dalam konteks agama (metafisik) sebenarnya
tidak bertentangan dengan apa yang ditemukan manusia lewat ilmu pengetahuan
sebab senantiasa ada sebab spiritual yang tidak terjawab. Penerimaan manusia pada hal-hal yang metafisik dalam
penciptaan alam semesta menandakan bahwa manusia adalah mahkluk yang fisik yang
sekaligus spiritual. Spiritual artinya bahwa manusia memiliki asal yang
spiritual dan akan tertuju pada yang spiritual.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar