Halaman

Sabtu, 24 Oktober 2015

MANUSIA MEMAHAMI ASAL DIRINYA

      
          Dewasa ini, perkembangan ilmu pengetahuan berkembang begitu pesat. Perkembangan ilmu pengetahuan telah mempermudah banyak bidang kehidupan manusia. Orang tidak lagi disulitkan dengan jarak geografis untuk berkirim dan bertukar informasi. Orang juga tidak lagi kerepotan untuk bepergian ke berbagai tempat sebab kini ribuan kilometer dapat ditempuh hanya dalam hitungan jam.
Perkembangan dalam dunia ilmu pengetahuan juga telah menunjukkan berbagai kemakjuan menyilaukan, seperti rekayasa genetika sampai dengan kloning. Dua bidang aspek kehidupan tersebut telah menunjukkan kepada kita bahwa kita memang sedang hidup di dalam dunia yang sedang “berlari” begitu pesat.

            Manusia dewasa ini memang sedang berada di dunia yang sedang “berlari”, khususnya “berlari” dalam pesatnya arus ilmu pengetahuan. Pada awal sejak terfragmentasi dari filsafat (baca: mater scientiarum), ilmu pengetahuan ditujukan untuk “mengabdi” pada manusia secara lebih khusus dalam bidang-bidangnya. Dampak positif dari perkembangan ilmu pengetahuan dapat dilihat dari meningkatnya daya kritis manusia untuk bertanya tentang segala sesuatu. Perkembangan metode positivis dalam penyelidikan ilmu pengetahuan menjadikan manusia begitu optimis untuk mencari hukum-hukum dan pemahaman yang universal akan semua aspek realitas. Dengan hukum dan pemahaman universal tersebut, manusia berharap dapat “menguasai” segala yang ada sehingga mengembangkan hidupnya.
            Satu hal yang ingin dipahami manusia dengan metode positif ilmu pengetahuan adalah penciptaan alam semesta. Usaha pencarian terus-menerus tersebut dapat dipahami sebagai usaha manusia untuk menjawab satu pertanyaan hakiki: Dari manakah aku berasal?              Manusia dewasa ini seakan tidak puas dengan penjelasan dari agama-agama tentang bagaimana manusia dan alam semesta tercipta. Pertanyaan hakiki tersebut membimbing manusia untuk terus mencari jawaban – dengan harapan bahwa dengan tahu dari mana ia berasal maka manusia akan tahu pula ke mana ia akan melangkah! Akan tetapi, fenomena pencarian ini berbuah pada pertanyaan-pertanyaan kritis: Apakah peristiwa-peristiwa hakiki seperti penciptaan akan tuntas dengan penjelasan dari ilmu pengetahuan?Apa makna usaha pencarian ini bagi manusia secara personal?

MANUSIA DAN ILMU PENGETAHUAN DEWASA INI  
            Sebelum kita berusaha memahami usaha manusia melalui ilmu pengetahuan untuk memahami peristiwa-peristiwa hakiki seperti penciptaan, adalah begitu mendasar untuk kita memahami bagaimana relasi manusia dengan ilmu pengetahuan dewasa ini.
            Perkembangan ilmu pengetahuan modern yang dimulai sejak Newton telah membawa manusia pada gambaran dunia yang mekanis – bahwa kita dapat memahami semesta beserta semua hukum-hukumnya. Dunia dinilai mekanis dan manusia berusaha mencari jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar: Darimana alam semesta berasal? Darimanakah asal gerak? Melalui ilmu pengetahuan manusia berusaha mencari hukum-hukum mendasar akan segala sesuatu yang dengannya segala sesuatu dapat diprediksi. Melalui usaha memprediksi tersebut manusia berusaha untuk menjadikan alam semesta ada untuk manusia. Hal tersebut memiliki konsekuensi bahwa manusia akan merasa “at home” di dunia.
            Ilmu pengetahuan dengan segala geraknya merupakan gambaran bahwa dengan rasio yang dimilikinya manusia dapat menguasai semesta. Dengan rasionya manusia berusaha dengan amat keras untuk mencapai kebenaran. Kebenaran dalam ini dipahami sebagai penyingkapan (latin: aletheia) akan segala sesuatu dengan daya pemahaman manusia. Akan tetapi, terkadang manusia menjadi sangat optimis bahwa dengan rasio teknologisnya yang tercermin dalam ilmu pengetahuan semu hal dapat tuntas. Adanya penyingkapan yang tidak tuntas dalam kebenaran-kebenaran peristiwa hakiki seperti penciptaan semesta, menunjukkan adanya keterbatas kemampuan manusia dalam ilmu pengetahuan.    

MANUSIA MEMAHAMI ASAL DIRINYA
            Melalui ilmu pengetahuan, manusia mulai memahami dan berani menarik secarik kesimpulan bahwa proses penciptaan semesta adalah hal yang terjadi secara fisik semata. Kesimpulan tersebut berangkat dari fakta-fakta terberi yang dapat diukur dan dinilai akurat. Dalam penemuan ini, pemahaman akan semesta yang dinilai transenden dan spiritual oleh agama-agama mulai ditinggalkan. Alam semesta yang awalnya begitu luas dan misterius dapat “dijinakkan” dan diketahui hukum-hukumnya. Hal tersebut ditunjukkan misalnya ketika dideklarasikan adanya "partikel Tuhan" yang diyakini sebagai awal semesta. Semua dapat dijawab secara rasional! Yang rasional itu dinilai cukup, dan nilai-nilai spiritual (yang adalah tidak rasional dan tidak dapat diverifikasi) menyangkut hidup manusia dinilai tidak relevan dan usang.
            Fenomena ini kemudian memunculkan suatu pertanyaan kritis: Apakah peristiwa-peristiwa hakiki seperti penciptaan akan tuntas dengan penjelasan dari ilmu pengetahuan? Dunia dewasa ini mulai digiring untuk lebih “mengimani” proses penciptaan yang dijelaskan oleh ilmu pengetahuan, misalnya adalah teori Big Bang. Kita perlu ingat bahwa teori Big-Bang sebenarnya tidak bisa menjawab kondisi awal sebelum Big-Bang dan arah alam semesta. Dua hal tersebut diandaikan begitu saja karena memang tidak ada data yang dapat diakses dan diteliti oleh ilmu pengetahuan. Akan tetapi, kecenderunan ilmu pengetahuan dewasa ini adalah menilai mutlak temuan ini dan hal-hal yang tak dapat diakses tersebut dinilai tidak ilmiah dan tidak rasional.
            Ilmu pengetahuan memang tidak mampu menjelaskan kondisi awal sebelum Big-Bang dan arah alam semesta. Di samping itu, perlu kita ingat bahwa kebenaran santifik senantiasa bersifat probable - hanya yang fanatik akan menganggapnya sebagai kebenaran absolut. Realitas ini menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa hakiki seperti penciptaan bukan merupakan peristiwa yang melulu fisik. Penciptaan harus dipahami sebagai peristiwa metafisik di mana bukan hanya menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan yang digunakan. Pada titik inilah ditemukan bahwa manusia bukanlah mahkluk yang mekanis dan determinis karena ia dan alam semesta yang menaunginya memiliki aspek metafisik dan spiritual.

MANUSIA: PERSONA YANG FISIK DAN SPIRITUAL
            Penjelasan di atas tentang upaya manusia memahami dirinya mengantar kita pada pemahaman filosofis tentang penciptaan sebagai suatu yang fisik sekaligus metafisik. Penciptaan bersifat fisik artinya bahwa teori-teori dari ilmu pengetahuan, seperti Big Bang, adalah dapat diterima namun selalu ada hal yang metafisik berada dibalik itu, sebagai suatu contoh:siapa yang menciptakan "partikel tuhan"? Paham penciptaan akan berimplikasi pada semua aspek hidup manusia: manusia sebagai bagian semesta sebenarnya sedang mencari "siapa aku" - darimanakah aku berasal dan tujuan kemana aku pergi. Bila penciptaan yang melulu dipahami sebagai suatu yang mekanis (fisik) berarti mereduksi sisi spiritualitas semesta, di mana nilai-nilai yang universal adalah eksis. Sebab, nilai-nilai universal harus juga bersumber dari hal yang spiritual.
            Penciptaan yang dipahami secara fisik saja berarti pula asal dan tujuan hidup manusia adalah tidak jelas, seperti asal dan tujuan semesta yang tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan fisik. Maka, penciptaan dalam konteks agama (metafisik) sebenarnya tidak bertentangan dengan apa yang ditemukan manusia lewat ilmu pengetahuan sebab senantiasa ada sebab spiritual yang tidak terjawab. Penerimaan manusia pada hal-hal yang metafisik dalam penciptaan alam semesta menandakan bahwa manusia adalah mahkluk yang fisik yang sekaligus spiritual. Spiritual artinya bahwa manusia memiliki asal yang spiritual dan akan tertuju pada yang spiritual. 



***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar