(nyanyian kelu, anak korban metropolitan)
Oleh: Ferdian Dwi Prastiyo
Ini bukan pilihan, tapi..., tidak ada pilihan lain untuk dipilih. |
Letih menusuk sekujur sendi-sendi ini
Lunglai menyesat tulang-tulang tak berisi
Cacing-cacing di perut ini sudah berontak, tak ada sesuap nasi pun lewat kerongkongan ini
Tak serupiah pun mengisi kantong kusut ini, mampir pun tak sudi
Apa karena gitar bututku yang tak lagi bernyanyi merdu?
Atau mungkin, debu jalanan dan asap kendaraan terlalu menyesak dadaku hingga suaraku tak layak untuk sebuah koin rupiah saja?
Tak beruntunglah nasibku hari-hari ini…
Di sini, di bawah kolong jembatan
Kuhabiskan sisa-sisa hari dengan sesimpulan senyuman
Untuk lalu lalang kendaraan-kendaraan mewah, untuk canda tawa anak-anak seumurku di depan play stasion dan laptop, untuk gedung-gedung yang menjulang, untuk keinginanku makan bangku sekolah yang cuma mimpi, dan juga untuk kehidupan glamour di perumahan-perumahan elite
Meski waktu hanya mengizinkan tuk melihat dan isap jempol atasnya
Di sini, di bawah kolong jembatan
Kunantikan setitik keajaiban seperti di sinetron dan film-film
Di kala hujan, di waktu teriknya matahari, sampai selimut malam menjemput
Kau tetap setia menantiku untuk sekedar bersandar, dipeliknya hidup di kota metropolitan
Atau juga sekedar meletakkan mimpi-mimpi manis untuk esok hari
Walau memang hanya sebatas yang tidak akan mungkin pernah jadi nyata
Di sini, di bawah kolong jembatan
Aku lambungkan syukur kepada Sang Pencipta Kehidupan
Syukur atas waktu, syukur atas senyuman, syukur atas rezeki, dan yang terutama: syukur karena aku masih diizinkan-Nya melambungkan sepercik syukur ini
Meski nampak sungguh tiada setitik pun syair-syair nyanyian kehidupan yang tidak dapat lambungkan syukuri
Tak muluk-muluk harapanku di pekatnya malam ini
Semoga ada yang sudi melempar makanan ke kolong jembatan ini, agar aku masih bisa melihat matahari di esok hari
Terimakasih Tuhan, atas kolong jembatan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar