Kata filsafat berasal dari
Bahasa Yunani philosophia, yang
terdiri dari kata philos dan sophia. Kata
philos berarti cinta (love), kekasih, dapat juga bermakna sahabat. Sementara itu, kata sophia berarti
kebijaksanaan atau kearifan, yang bisa diartikan pula
sebagai pengetahuan. Jadi, secara
harafiah kata philosophia berarti ‘love of wisdom’—cinta akan
kebijaksanaan atau sahabat pengetahuan. Kata philosophia diturunkan
pula ke dalam bahasa-bahasa lain,
seperti falsafah (Basaha Arab) dan philosophy (Basaha Inggris).
Secara historis,
semua ilmu pengetahuan yang dikenal dewasa ini pernah menjadi bagian dari
filsafat yang dinilai sebagai induk dari segala pengetahuan (mater scientiarum—Ibu dari segala
pengetahuan). Pada masa awal lahir dan tumbuhnya filsafat di Miletos –
Yunani sekitar abad 6 SM, para pemikir yang terkenal sebagai filsuf adalah juga
ilmuwan dalam bidang matematika, astronomi, dan sebagainya. Bagi para filsuf
ini, ilmu pengetahuan tersebut adalah
filsafat. Filsafat juga telah mengembangkan cara berpikir yang logis,
sistematis, rasional, dan kritis. Kontribusi ini menjadikan ilmu pengetahuan
bertumbuh subur dan berkembang menjadi dewasa.
Seiring
berjalannya waktu, dengan perkembangan zaman dan tumbuhnya peradaban manusia,
pelbagai ilmu pengetahuan—yang semula tergabung dalam filsafat, memisahkan diri
dan mengejar tujuan masing-masing. Sebagai contoh, astronomi (ilmu
perbintangan) dan fisika (ilmu alam) merupakan cabang-cabang filsafat yang
memisahkan diri yang kemudian diikuti oleh ilmu kimia, biologi, dan geologi. Pada abad ke-19, muncul ilmu psikologi
(ilmu yang mempelajari perilaku dan sifat-sifat manusia) dan sosiologi (ilmu
yang mempelajari tentang masyarakat) yang dipelopori oleh Auguste Comte
(1798-1857). Sampai pada titik ini, filsafat telah bertindak sebagai ‘Ibu’ yang
‘mengandung’, ‘melahirkan’, ‘merawat’, dan ‘mendewasakan’ semua ‘anaknya’.
Dalam sejarah
filsafat Yunani, nama filsafat sebagai mater
scientiarum begitu ‘dihormati’ di sekolah Akademia yang dipimpin oleh
Plato. Di Akademia, Plato mencurahkan minatnya kepada suatu lapangan yang luas
dan mencakup seluruh ilmu pengetahuan. Di samping fokus pembelajaran Akademia
dalam bidang ilmu pasti, Plato juga mengajarkan tentang ilmu hayat dan
ketatanegaraan. Semua ilmu itu dan semua ilmu lain yang sudah dipratikkan di Yunani pada saat itu di pelajari
di Akademia di bawah nama ‘filsafat’.
Keterbatasan Ilmu Pengetahuan
Ilmu-ilmu
pengetahuan yang berkembang pesat telah membawa umat manusia pada kemajuan
dalam segala bidang kehidupan. Secara langsung maupun tidak langsung, kemajuan
ini menjadikan manusia terpukau oleh pesona ilmu pengetahuan. Pandangan sinis
kemudian muncul terhadap filsafat. Filsafat dianggap sebagai ‘benda antik’ yang
terlampau tua untuk ‘melahirkan’ suatu ilmu pengetahuan baru.
Benarkah ilmu
pengetahuan telah menjadi dewa yang mampu menggemgam alam semesta? Kenyataannya
tidak demikian. Secara hakiki, ilmu pengetahuan membatasi diri pada bidang dan
tujuan tertentu untuk menghasilkan pengetahuan setepat mungkin. Dan justru
karena itu, ilmu pengetahuan khusus tidak memiliki sarana teoritis untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut realitas sebagai suatu
keseluruhan. Ilmu pengetahuan membutuhkan bantuan dari suatu yang bersifat
tidak terbatas yang sanggup menguji kebenaran-kebenaran prinsip yang mendasari
ilmu pengetahuan itu sendiri. Hal itu hanya dapat dilakukan oleh filsafat—sang
induk segala ilmu pengetahuan. Filsafat adalah ‘Ibu’
yang senantiasa membimbing dan
mengarahkan (baca: mengkaji) ‘anak-anaknya’ yang telah dewasa agar tetap pada
hakikat mereka: menyejahterakan kehidupan manusia.
Filsafat adalah
ilmu yang mempelajari realitas secara keseluruhan.
Oleh karena itu, filsafat disebut
sebagai ilmu yang tidak terbatas. Ketidakterbatasan filsafat yang demikian
itulah yang sangat berguna bagi ilmu pengetahuan. Ketidakterbatasan filsafat
menjadi dasar yang membuatnya mampu memeriksa, mengevaluasi, mengoreksi, dan
lebih menyempurnakan prinsip dan asas dasar yang melandasi berbagai ilmu
pengetahuan. Dalam perkembangan zaman, ilmu pengetahuan cenderung untuk
memandang fakta-fakta dari penemuan (empiris) sebagai hal yang terpenting,
sedangkan filsafat memusatkan perhatiannya pada asas-asas dasar. Sebagai
‘anak’, ilmu pengetahuan hendaknya kembali lagi pada sang ‘Ibu’—filsafat, untuk
melihat kembali asas-asas dasarnya bagi hidup manusia. Itulah tugas filsafat
selaku ‘penuntun’ ilmu pengetahuan.
Setelah menuntun
ilmu pengetahuan pada asas dasarnya, filsafat kemudian juga dapat mengkaji
fakta-fakta serta pemikiran yang termuat dalam ilmu pengetahuan berdasarkan
asas-asas dasar ilmu pengetahuan tersebut. Pada bagian ini, filsafat berupaya
mengkaji temuan-temuan ilmu pengetahuan seturut perkembangan zaman. Peranan ini
tampak dalam fungsi filsafat sebagai analisis terhadap ilmu pengetahuan. Dalam
analisis ini filsafat mengemukankan pertanyaan-pertanyaan bagi ilmu
pengetahuan, misalnya “Apakah temuan-temuan tersebut tetap menghormati martabat
manusia?” Sebagai suatu contoh, filsafat berusaha mengarahkan
pertanyaan-pertanyaan semacam itu pada temuan-temuan besar dalam dunia
kedokteran dewasa ini, seperti permasalahan tentang kloning manusia, rekayasa
genetika, sampai pada bayi tabung. Dalam fungsi kedua ini, filsafat memainkan
perannya sebagai ‘Ibu’ yang selalu mengarahkan ‘anaknya’ pada jalan yang benar
saat mereka mulai pintar dan dihadapkan pada hal-hal yang baru.
RELEVANSI: PERANAN FILSAFAT BAGI ILMU PSIKOLOGI
Sebagai relevansi
dari pembahasan di atas, peranan nyata filsafat dapat dilihat dalam salah satu ilmu
pengetahuan yang telah berkembang pesat dewasa ini, yaitu ilmu Psikologi. Psikologi
adalah ilmu ‘pecahan’ dari filsafat yang mempelajari tentang konsep kejiwaan dalam
kaitannya dengan perilaku manusia. Dalam filsafat, dapat ditemukan
refleksi-refleksi yang mendalam tentang konsep jiwa dan perilaku manusia. Dengan
mempelajari ini, para psikolog akan semakin memahami akar historis dari ilmu
mereka, serta pergulatan-pergulatan macam apa yang terjadi di dalamnya. Konsep jiwa dan perilaku manusia telah dikupas secara
dalam sejak filsafat Yunani Kuno, seperti filsuf Aristoteles. Pandangan-pandangan
tersebut menawarkan sudut pandang dan pemikiran baru yang berguna bagi perkembangan
ilmu Psikologi. Inilah fungsi filsafat sebagai pembimbing kepada asas-asas dasar
suatu ilmu.
Secara praktis, filsafat
juga memiliki cabang yang cukup vital dalam perkembang ilmu Psikologi, yaitu
ilmu Logika dan Etika. Melalui ilmu Logika, filsafat memberikan kerangka pikir
yang sistematis, logis, dan rasional bagi psikolog—baik praktisi maupun
akademisi. Dalam hal ini, logika klasik dan logika kontemporer dapat menjadi
sumbangan cara berpikir yang besar bagi ilmu psikologi. Inilah salah satu
fungsi filsafat yang mengarahkan ilmu pengetahuan melalui ilmu Logika.
Sementara itu, ilmu Etika juga diperlukan dalam Psikologi agar para psikolog
tidak melanggar nilai-nilai moral dasar dalam penelitiannya, seperti kebebasan
dan hak asasi manusia. Dalam hal ini, ilmu Etika ini dapat dikatakan sebagai
fungsi analisis dari filsafat bagi ilmu Psikologi. ***
SUMBER BACAAN
ARTIGAS, MARIANO, Introduction
to Philosophy, Sinag-Tala Publishers Inc, Manila, 1984.
BERTENS, KEES, Sejarah
Filsafat Yunani, Kanisius, Yogyakarta, 1999.
HAMERSMA, HARRY, Pintu
Masuk ke Dunia Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 2008.
MAGNIS-SUSENO, FRANZ, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Yogyakarta,
1992.
MAKSUM, ALI, Pengantar
Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Post-modernisme, Ar-Ruzz Media,
Yogyakarta, 2012.
RAPAR, JAN HENDRIK, Pengantar Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1996.
SOEMARGONO, SOEJONO, Berpikir Secara Kefilsafatan (Edisi Lengkap), Yogyakarta, Nur
Cahaya, 1988.
SUMBER INTERNET
rumahfilsafat.com/2008/10/21/peranan-filsafat-bagi-perkembangan-ilmu-psikologi/
(diunduh pada hari Minggu, 28 September 2013, pukul 10.36 WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar