Halaman

Jumat, 23 Oktober 2015

FILSAFAT: MATER SCIENTIARUM


Kata filsafat berasal dari Bahasa Yunani philosophia, yang terdiri dari kata philos dan sophia. Kata philos berarti cinta (love), kekasih, dapat juga bermakna sahabat. Sementara itu, kata sophia berarti kebijaksanaan atau kearifan, yang bisa diartikan pula sebagai pengetahuan. Jadi, secara harafiah kata philosophia berarti ‘love of wisdom’—cinta akan kebijaksanaan atau sahabat pengetahuan. Kata philosophia diturunkan pula ke dalam bahasa-bahasa lain, seperti falsafah (Basaha Arab) dan philosophy (Basaha Inggris).


Secara historis, semua ilmu pengetahuan yang dikenal dewasa ini pernah menjadi bagian dari filsafat yang dinilai sebagai induk dari segala pengetahuan (mater scientiarum—Ibu dari segala pengetahuan). Pada masa awal lahir dan tumbuhnya filsafat di Miletos – Yunani sekitar abad 6 SM, para pemikir yang terkenal sebagai filsuf adalah juga ilmuwan dalam bidang matematika, astronomi, dan sebagainya. Bagi para filsuf ini,  ilmu pengetahuan tersebut adalah filsafat. Filsafat juga telah mengembangkan cara berpikir yang logis, sistematis, rasional, dan kritis. Kontribusi ini menjadikan ilmu pengetahuan bertumbuh subur dan berkembang menjadi dewasa.

Seiring berjalannya waktu, dengan perkembangan zaman dan tumbuhnya peradaban manusia, pelbagai ilmu pengetahuan—yang semula tergabung dalam filsafat, memisahkan diri dan mengejar tujuan masing-masing. Sebagai contoh, astronomi (ilmu perbintangan) dan fisika (ilmu alam) merupakan cabang-cabang filsafat yang memisahkan diri yang kemudian diikuti oleh ilmu kimia, biologi, dan geologi. Pada abad ke-19, muncul ilmu psikologi (ilmu yang mempelajari perilaku dan sifat-sifat manusia) dan sosiologi (ilmu yang mempelajari tentang masyarakat) yang dipelopori oleh Auguste Comte (1798-1857). Sampai pada titik ini, filsafat telah bertindak sebagai ‘Ibu’ yang ‘mengandung’, ‘melahirkan’, ‘merawat’, dan ‘mendewasakan’ semua ‘anaknya’.

Dalam sejarah filsafat Yunani, nama filsafat sebagai mater scientiarum begitu ‘dihormati’ di sekolah Akademia yang dipimpin oleh Plato. Di Akademia, Plato mencurahkan minatnya kepada suatu lapangan yang luas dan mencakup seluruh ilmu pengetahuan. Di samping fokus pembelajaran Akademia dalam bidang ilmu pasti, Plato juga mengajarkan tentang ilmu hayat dan ketatanegaraan. Semua ilmu itu dan semua ilmu lain yang sudah dipratikkan di Yunani pada saat itu di pelajari di Akademia di bawah nama ‘filsafat’.

           
FILSAFAT: MEMBIMBING DAN MENGKAJI ILMU PENGETAHUAN
Keterbatasan Ilmu Pengetahuan

Ilmu-ilmu pengetahuan yang berkembang pesat telah membawa umat manusia pada kemajuan dalam segala bidang kehidupan. Secara langsung maupun tidak langsung, kemajuan ini menjadikan manusia terpukau oleh pesona ilmu pengetahuan. Pandangan sinis kemudian muncul terhadap filsafat. Filsafat dianggap sebagai ‘benda antik’ yang terlampau tua untuk ‘melahirkan’ suatu ilmu pengetahuan baru.

Benarkah ilmu pengetahuan telah menjadi dewa yang mampu menggemgam alam semesta? Kenyataannya tidak demikian. Secara hakiki, ilmu pengetahuan membatasi diri pada bidang dan tujuan tertentu untuk menghasilkan pengetahuan setepat mungkin. Dan justru karena itu, ilmu pengetahuan khusus tidak memiliki sarana teoritis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut realitas sebagai suatu keseluruhan. Ilmu pengetahuan membutuhkan bantuan dari suatu yang bersifat tidak terbatas yang sanggup menguji kebenaran-kebenaran prinsip yang mendasari ilmu pengetahuan itu sendiri. Hal itu hanya dapat dilakukan oleh filsafat—sang induk segala ilmu pengetahuan. Filsafat adalah ‘Ibuyang senantiasa membimbing dan mengarahkan (baca: mengkaji) ‘anak-anaknya’ yang telah dewasa agar tetap pada hakikat mereka: menyejahterakan kehidupan manusia.


Membimbing dan Mengkaji Ilmu Pengetahuan
Filsafat adalah ilmu yang mempelajari realitas secara keseluruhan. Oleh karena itu, filsafat disebut sebagai ilmu yang tidak terbatas. Ketidakterbatasan filsafat yang demikian itulah yang sangat berguna bagi ilmu pengetahuan. Ketidakterbatasan filsafat menjadi dasar yang membuatnya mampu memeriksa, mengevaluasi, mengoreksi, dan lebih menyempurnakan prinsip dan asas dasar yang melandasi berbagai ilmu pengetahuan. Dalam perkembangan zaman, ilmu pengetahuan cenderung untuk memandang fakta-fakta dari penemuan (empiris) sebagai hal yang terpenting, sedangkan filsafat memusatkan perhatiannya pada asas-asas dasar. Sebagai ‘anak’, ilmu pengetahuan hendaknya kembali lagi pada sang ‘Ibu’—filsafat, untuk melihat kembali asas-asas dasarnya bagi hidup manusia. Itulah tugas filsafat selaku ‘penuntun’ ilmu pengetahuan.

Setelah menuntun ilmu pengetahuan pada asas dasarnya, filsafat kemudian juga dapat mengkaji fakta-fakta serta pemikiran yang termuat dalam ilmu pengetahuan berdasarkan asas-asas dasar ilmu pengetahuan tersebut. Pada bagian ini, filsafat berupaya mengkaji temuan-temuan ilmu pengetahuan seturut perkembangan zaman. Peranan ini tampak dalam fungsi filsafat sebagai analisis terhadap ilmu pengetahuan. Dalam analisis ini filsafat mengemukankan pertanyaan-pertanyaan bagi ilmu pengetahuan, misalnya “Apakah temuan-temuan tersebut tetap menghormati martabat manusia?” Sebagai suatu contoh, filsafat berusaha mengarahkan pertanyaan-pertanyaan semacam itu pada temuan-temuan besar dalam dunia kedokteran dewasa ini, seperti permasalahan tentang kloning manusia, rekayasa genetika, sampai pada bayi tabung. Dalam fungsi kedua ini, filsafat memainkan perannya sebagai ‘Ibu’ yang selalu mengarahkan ‘anaknya’ pada jalan yang benar saat mereka mulai pintar dan dihadapkan pada hal-hal yang baru.

RELEVANSI: PERANAN FILSAFAT BAGI ILMU PSIKOLOGI
Sebagai relevansi dari pembahasan di atas, peranan nyata filsafat dapat dilihat dalam salah satu ilmu pengetahuan yang telah berkembang pesat dewasa ini, yaitu ilmu Psikologi. Psikologi adalah ilmu ‘pecahan’ dari filsafat yang mempelajari tentang konsep kejiwaan dalam kaitannya dengan perilaku manusia. Dalam filsafat, dapat ditemukan refleksi-refleksi yang mendalam tentang konsep jiwa dan perilaku manusia. Dengan mempelajari ini, para psikolog akan semakin memahami akar historis dari ilmu mereka, serta pergulatan-pergulatan macam apa yang terjadi di dalamnya. Konsep jiwa dan perilaku manusia telah dikupas secara dalam sejak filsafat Yunani Kuno, seperti filsuf Aristoteles. Pandangan-pandangan tersebut menawarkan sudut pandang dan pemikiran baru yang berguna bagi perkembangan ilmu Psikologi. Inilah fungsi filsafat sebagai pembimbing kepada asas-asas dasar suatu ilmu.

Secara praktis, filsafat juga memiliki cabang yang cukup vital dalam perkembang ilmu Psikologi, yaitu ilmu Logika dan Etika. Melalui ilmu Logika, filsafat memberikan kerangka pikir yang sistematis, logis, dan rasional bagi psikolog—baik praktisi maupun akademisi. Dalam hal ini, logika klasik dan logika kontemporer dapat menjadi sumbangan cara berpikir yang besar bagi ilmu psikologi. Inilah salah satu fungsi filsafat yang mengarahkan ilmu pengetahuan melalui ilmu Logika. Sementara itu, ilmu Etika juga diperlukan dalam Psikologi agar para psikolog tidak melanggar nilai-nilai moral dasar dalam penelitiannya, seperti kebebasan dan hak asasi manusia. Dalam hal ini, ilmu Etika ini dapat dikatakan sebagai fungsi analisis dari filsafat bagi ilmu Psikologi. ***



















SUMBER BACAAN

ARTIGAS, MARIANO, Introduction to Philosophy, Sinag-Tala Publishers Inc, Manila, 1984.

BERTENS, KEES, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, Yogyakarta, 1999.

HAMERSMA, HARRY, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 2008.

MAGNIS-SUSENO, FRANZ, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Yogyakarta, 1992.     

MAKSUM, ALI, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Post-modernisme, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta, 2012.

RAPAR, JAN HENDRIK, Pengantar Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1996.

SOEMARGONO, SOEJONO, Berpikir Secara Kefilsafatan (Edisi Lengkap), Yogyakarta, Nur Cahaya, 1988.  

         

          SUMBER INTERNET
rumahfilsafat.com/2008/10/21/peranan-filsafat-bagi-perkembangan-ilmu-psikologi/ (diunduh pada hari Minggu, 28 September 2013, pukul 10.36 WIB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar