www.upload.wikimedia.org |
Pergerakan mahasiswa di Indonesia
adalah bagian penting dalam sejarah bangsa dan negara Indonesia yang memuat
semangat revolusioner. Sebut saja Gerakan Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) pada tahun 1974 yang merupakan bentuk civil disobedience guna mengoreksi
kebijakan pemerintah yang cenderung bergantung pada investasi asing dan
membiarkan kesenjangan sosial.
Gerakan mahasiswa pada tahun ’90-an mencapai puncaknya pada waktu mahasiswa berhasil merebut simpati dan dorongan masyarakat untuk mewujudkan agenda reformasi. Meskipun dinilai gerakan puncak tersebut telah dibajak oleh kroni-kroni Orde baru, namun sejarah tetap mencatat bahwa mahasiswa selalu menjadi garda terdepan dalam membuat suatu perubahan.
Gerakan mahasiswa pada tahun ’90-an mencapai puncaknya pada waktu mahasiswa berhasil merebut simpati dan dorongan masyarakat untuk mewujudkan agenda reformasi. Meskipun dinilai gerakan puncak tersebut telah dibajak oleh kroni-kroni Orde baru, namun sejarah tetap mencatat bahwa mahasiswa selalu menjadi garda terdepan dalam membuat suatu perubahan.
Akan tetapi, ada yang berbeda dengan
mahasiswa kita dewasa ini dalam memaknai seruan filosofis “mengisi kemerdekaan”.
Para mahasiswa lebih senang tampil sebagai penonton di acara-acara televisi
sebagai juru keplok. Mereka agaknya
lebih merasa bangga sebagai Event Organizer
daripada turun dan turut membenahi kondisi masyarakat yang masih didera
kemiskinan dan ketidakkadilan. Mereka kini justru bersungut-sungut ketika
kendaraan mereka terjebak macet karena demo buruh yang meminta kenaikan upah
dan jaminan keselamatan kerja. Gerakan mahasiswa dewasa ini juga seakan hanya
berkutat pada isu-isu elitis yang tidak revolusioner. Hal ini setidaknya
menggambarkan sifat revolusioner mahasiswa sebagai akademisi yang luntur karena
disandera oleh kenyamanan hidup. Hilangnya roh
berserikat, berpartai, rapat akbar, aksi, mogok dan bersuara telah menjadi
salah satu penyebab kegagalan era reformasi ini.
Akar:
Kapitalisme Lanjut dan Revolusi ’98 yang Tidak Tuntas
Herbert
Marcuse (1898-1979) adalah seorang pemikir Jerman yang banyak menganalisis
tentang perkembangan masyarakat industri dalam kaitannya dengan melemahnya semangat
revolusioner. Sistem kapitalisme lanjut hadir dengan wajah yang “cantik”
sehingga dimensi negatif masyarakat tersingkir. Dimensi negatif adalah sisi
dalam diri manusia yang memungkinkan penentangan akan sistem masyarakat yang
ada, misalnya kepekaan akan ketidakadilan. Orang tidak lagi memiliki sifat “pemberontak”
karena sistem kapitalisme lanjut telah memberikan berbagai kemudahan hidup. Di
samping itu, segala macam pemberontakan dewasa ini juga dengan mudah dinormalisasi
oleh sisten yang ada. Marcuse menyerukan sebuah great refusal untuk melawan sistem yang “cantik” namun sebenarnya
menindas tersebut. Akan tetapi, karena kuatnya sistem kapitalisme lanjut, great refusal yang diharapkan Marcuse
juga tidak berujung pada perubahan sistem masyarakat. Pemikiran Marcuse ini
menjadi inspirasi gerakan mahasiswa Kiri
Baru di Eropa pada waktu itu.
Di
Indonesia, sifat revolusioner dari gerakan mahasiswa mulai melemah semenjak
gerakan mahasiswa ’98 tidak mampu menuntaskan revolusi nasional. Pelemahan
terhadap organ gerakan kiri dan pelemahan terhadap gagasan revolusioner pada
awal masa demokrasi telah menjadikan rakyat buta politik. Pada tahap ini
gerakan mahasiswa telah kehilangan basis dukungan dan simpati dari rakyat. Akibatnya, rakyat yang tengah berada
pada masa krisis menyandarkan pilihan politiknya hanya pada tokoh-tokoh
reformis yang mendapat banyak sorotan oleh media massa. Gerakan mahasiswa pun
akhirnya hanya dipandang sebagai gerakan revolusioner yang selalu lekat dengan
anarkisme dan tanpa tujuan membentuk struktur yang jelas. Maka tidak heran
apabila masyarakat dewasa ini memandang demo-demo dan diskusi-diskusi kritis
segelintir kelompok mahasiswa hanya sebagai penggangu stabilitas masyarakat semata.
“PR” Gerakan Mahasiswa: Menemukan Kembali basis
Kerakyatan
Gerakan mahasiswa dewasa ini memang
harus kembali pada akar perjuangan revolusioner yaitu dengan menemukan kembali
basis dukungan dan simpati masyarakat secara luas. Gerakan mahasiwa seharusnya
berakar dari sikap kritis yang melampauhi fakta-fakta terberi, yaitu bahwa di
tengah kenyamanan hidup ini masih ada masyarakat yang didera ketidakadilan dan
penderitaan. Hal inilah yang sekiranya ditekankan oleh Herbert Marcuse bahwa
masyarakat akan berkembang apabila sisi revolusiner kembali dihidupkan. Gerakan
mahasiswa di Kiri Baru pada masa
Marcuse setidaknya telah menunjukkan betapa semangat revolusioner telah membuka
pintu-pintu perubahan yang dapat merubah sistem masyarakat. Dengan kekritisan
untuk mengatakan “tidak” pada sistem yang menindas masyarakat, gerakan
mahasiswa sebenarnya telah kembali pada semangat dasar yang tercatat pada
sejarah Indonesia, yaitu untuk memajukan kehidupan masyarakat dengan menentang
penindasan dan ketidakadilan.
Belajar
dari gerakan mahasiswa di Filipina pada ’80-an yang berhasil menggulingkan
diktator Marcos dengan strategi ‘Live-in’ (hidup dan berjuang bersama
rakyat), maka gerakan mahasiswa dewasa ini juga harus melakukan strategi yang
sama. Dengan kembali hidup bersama dengan rakyat, maka gerakan mahasiswa akan
sampai pada hal-hal substansial yang memang harus diangkat dan diwujudkan sebagai
suatu perubahan. Dengan kembali hidup bersama rakyat, gerakan mahasiswa tidak hanya
akan berjuang seturut isu-isu kemasyarakatan yang merupakan selebrasi politik
belaka. Gerakan mahasiswa yang hidup dan berjuang bersama rakyat selalu
mengandaikan suatu aksi nyata, yang tidak cukup hanya diimplementasikan melalui
gerakan-gerakan tagar di media sosial atau sekedar mengisi petisi online. Hal ini didasari oleh fakta
mendasar, yaitu bahwa ketidakadilan dan penindasan adalah hal yang nyata dan
oleh karena itu perubahan juga menuntut suatu aksi nyata.
Aksi nyata gerakan mahasiswa yang
kontekstual dewasa ini pertama-tama harus terarah pada terciptanya karakter
kritis masyarakat melalui kesadaran politik dan keyakinan rakyat atas
kekuatannya. Gerakan mahasiswa harus mengembangkan kajian-kajian kritis yang
dipublikasikan dengan tujuan memperluas kesadaran massa. Gerakan mahasiswa
tidak boleh hanya jatuh pada heroisme “turun ke jalan” yang terkadang tidak
berujung pada penguatan kesadaran politik masyarakat. Aksi nyata gerakan
mahasiswa harus senantiasa mencerminkan keberpihakan mahasiswa (baca: agent of change) kepada masyarakat yang
kecil dan tertindas. Keberpihakan tersebut harus menjadi nyata ketika banyak
konflik tercipta antara masyarakat dengan pemerintah atau pihak swasta karena
sistem politik yang tergerus sistem perekonomian yang elitis dan anti-kerakyatan.
Pada akhirnya, aksi nyata gerakan mahasiswa sebagai
akademisi harus terus dilandasi oleh pemahaman dan komitmen bahwa revolusi
nasional belum berakhir – dan oleh karena itu, adalah sangat penting untuk
menghidupkan kembali “perjuangan menyelesaikan revolusi nasional Indonesia”.
***
DAFTAR PUSTAKA
Ansori, Ayub Al, 17 Juni 2015. Pergerakan Mahasiswa di Indonesia, (Online), (http://www.kompasiana.com/ayubalansori/pergerakan-mahasiswa-di-indonesia_54f386cb745513a22b6c782c, diakses
pada 8 Februari 2016)
INA, 16 Januari, 2016.
Perlawanan Mahasiswa atas Kesenjangan Sosial. Kompas, hlm. 4.
Novianto, Arif, 25 Maret 2015. Kemana Arah Gerakan Mahasiswa Sekarang?: Dari Refleksi Menuju Aksi, (Online), (http://indoprogress.com/2015/03/kemana-arah-gerakan-mahasiswa-sekarang-dari-refleksi-menuju-aksi, diakses pada 8 Februari 2016)
Suseno,
Franz Magnis. 2013. Dari Mao ke Marcuse - Percikan Filsafat Marxis Pasca
Lenin. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Ujan, Andre Ata. 2009. Filsafat Hukum Membangun
Hukum Membela Keadilan. Yogyakarta: Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar