Halaman

Selasa, 29 Maret 2016

MAHASISWA HARI INI



www.upload.wikimedia.org

Pergerakan mahasiswa di Indonesia adalah bagian penting dalam sejarah bangsa dan negara Indonesia yang memuat semangat revolusioner. Sebut saja Gerakan Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) pada tahun 1974 yang merupakan bentuk civil disobedience guna mengoreksi kebijakan pemerintah yang cenderung bergantung pada investasi asing dan membiarkan kesenjangan sosial.
Gerakan mahasiswa pada tahun ’90-an mencapai puncaknya pada waktu mahasiswa berhasil merebut simpati dan dorongan masyarakat untuk mewujudkan agenda reformasi. Meskipun dinilai gerakan puncak tersebut telah dibajak oleh kroni-kroni Orde baru, namun sejarah tetap mencatat bahwa mahasiswa selalu menjadi garda terdepan dalam membuat suatu perubahan.

            Akan tetapi, ada yang berbeda dengan mahasiswa kita dewasa ini dalam memaknai seruan filosofis “mengisi kemerdekaan”. Para mahasiswa lebih senang tampil sebagai penonton di acara-acara televisi sebagai juru keplok. Mereka agaknya lebih merasa bangga sebagai Event Organizer daripada turun dan turut membenahi kondisi masyarakat yang masih didera kemiskinan dan ketidakkadilan. Mereka kini justru bersungut-sungut ketika kendaraan mereka terjebak macet karena demo buruh yang meminta kenaikan upah dan jaminan keselamatan kerja. Gerakan mahasiswa dewasa ini juga seakan hanya berkutat pada isu-isu elitis yang tidak revolusioner. Hal ini setidaknya menggambarkan sifat revolusioner mahasiswa sebagai akademisi yang luntur karena disandera oleh kenyamanan hidup. Hilangnya roh berserikat, berpartai, rapat akbar, aksi, mogok dan bersuara telah menjadi salah satu penyebab kegagalan era reformasi ini.

Akar: Kapitalisme Lanjut dan Revolusi ’98 yang Tidak Tuntas
            Herbert Marcuse (1898-1979) adalah seorang pemikir Jerman yang banyak menganalisis tentang perkembangan masyarakat industri dalam kaitannya dengan melemahnya semangat revolusioner. Sistem kapitalisme lanjut hadir dengan wajah yang “cantik” sehingga dimensi negatif masyarakat tersingkir. Dimensi negatif adalah sisi dalam diri manusia yang memungkinkan penentangan akan sistem masyarakat yang ada, misalnya kepekaan akan ketidakadilan. Orang tidak lagi memiliki sifat “pemberontak” karena sistem kapitalisme lanjut telah memberikan berbagai kemudahan hidup. Di samping itu, segala macam pemberontakan dewasa ini juga dengan mudah dinormalisasi oleh sisten yang ada. Marcuse menyerukan sebuah great refusal untuk melawan sistem yang “cantik” namun sebenarnya menindas tersebut. Akan tetapi, karena kuatnya sistem kapitalisme lanjut, great refusal yang diharapkan Marcuse juga tidak berujung pada perubahan sistem masyarakat. Pemikiran Marcuse ini menjadi inspirasi gerakan mahasiswa Kiri Baru di Eropa pada waktu itu.
            Di Indonesia, sifat revolusioner dari gerakan mahasiswa mulai melemah semenjak gerakan mahasiswa ’98 tidak mampu menuntaskan revolusi nasional. Pelemahan terhadap organ gerakan kiri dan pelemahan terhadap gagasan revolusioner pada awal masa demokrasi telah menjadikan rakyat buta politik. Pada tahap ini gerakan mahasiswa telah kehilangan basis dukungan dan simpati dari rakyat. Akibatnya, rakyat yang tengah berada pada masa krisis menyandarkan pilihan politiknya hanya pada tokoh-tokoh reformis yang mendapat banyak sorotan oleh media massa. Gerakan mahasiswa pun akhirnya hanya dipandang sebagai gerakan revolusioner yang selalu lekat dengan anarkisme dan tanpa tujuan membentuk struktur yang jelas. Maka tidak heran apabila masyarakat dewasa ini memandang demo-demo dan diskusi-diskusi kritis segelintir kelompok mahasiswa hanya sebagai penggangu stabilitas masyarakat semata.

“PR” Gerakan Mahasiswa: Menemukan Kembali basis Kerakyatan
            Gerakan mahasiswa dewasa ini memang harus kembali pada akar perjuangan revolusioner yaitu dengan menemukan kembali basis dukungan dan simpati masyarakat secara luas. Gerakan mahasiwa seharusnya berakar dari sikap kritis yang melampauhi fakta-fakta terberi, yaitu bahwa di tengah kenyamanan hidup ini masih ada masyarakat yang didera ketidakadilan dan penderitaan. Hal inilah yang sekiranya ditekankan oleh Herbert Marcuse bahwa masyarakat akan berkembang apabila sisi revolusiner kembali dihidupkan. Gerakan mahasiswa di Kiri Baru pada masa Marcuse setidaknya telah menunjukkan betapa semangat revolusioner telah membuka pintu-pintu perubahan yang dapat merubah sistem masyarakat. Dengan kekritisan untuk mengatakan “tidak” pada sistem yang menindas masyarakat, gerakan mahasiswa sebenarnya telah kembali pada semangat dasar yang tercatat pada sejarah Indonesia, yaitu untuk memajukan kehidupan masyarakat dengan menentang penindasan dan ketidakadilan.
            Belajar dari gerakan mahasiswa di Filipina pada ’80-an yang berhasil menggulingkan diktator Marcos dengan strategi ‘Live-in’ (hidup dan berjuang bersama rakyat), maka gerakan mahasiswa dewasa ini juga harus melakukan strategi yang sama. Dengan kembali hidup bersama dengan rakyat, maka gerakan mahasiswa akan sampai pada hal-hal substansial yang memang harus diangkat dan diwujudkan sebagai suatu perubahan. Dengan kembali hidup bersama rakyat, gerakan mahasiswa tidak hanya akan berjuang seturut isu-isu kemasyarakatan yang merupakan selebrasi politik belaka. Gerakan mahasiswa yang hidup dan berjuang bersama rakyat selalu mengandaikan suatu aksi nyata, yang tidak cukup hanya diimplementasikan melalui gerakan-gerakan tagar di media sosial atau sekedar mengisi petisi online. Hal ini didasari oleh fakta mendasar, yaitu bahwa ketidakadilan dan penindasan adalah hal yang nyata dan oleh karena itu perubahan juga menuntut suatu aksi nyata.
            Aksi nyata gerakan mahasiswa yang kontekstual dewasa ini pertama-tama harus terarah pada terciptanya karakter kritis masyarakat melalui kesadaran politik dan keyakinan rakyat atas kekuatannya. Gerakan mahasiswa harus mengembangkan kajian-kajian kritis yang dipublikasikan dengan tujuan memperluas kesadaran massa. Gerakan mahasiswa tidak boleh hanya jatuh pada heroisme “turun ke jalan” yang terkadang tidak berujung pada penguatan kesadaran politik masyarakat. Aksi nyata gerakan mahasiswa harus senantiasa mencerminkan keberpihakan mahasiswa (baca: agent of change) kepada masyarakat yang kecil dan tertindas. Keberpihakan tersebut harus menjadi nyata ketika banyak konflik tercipta antara masyarakat dengan pemerintah atau pihak swasta karena sistem politik yang tergerus sistem perekonomian yang elitis dan anti-kerakyatan.
Pada akhirnya, aksi nyata gerakan mahasiswa sebagai akademisi harus terus dilandasi oleh pemahaman dan komitmen bahwa revolusi nasional belum berakhir – dan oleh karena itu, adalah sangat penting untuk menghidupkan kembali “perjuangan menyelesaikan revolusi nasional Indonesia”. ***

DAFTAR PUSTAKA
Ansori, Ayub Al, 17 Juni 2015. Pergerakan Mahasiswa di Indonesia, (Online), (http://www.kompasiana.com/ayubalansori/pergerakan-mahasiswa-di-indonesia_54f386cb745513a22b6c782c, diakses pada 8 Februari 2016)
INA, 16 Januari, 2016.  Perlawanan Mahasiswa atas Kesenjangan Sosial. Kompas, hlm. 4.

Novianto, Arif, 25 Maret 2015. Kemana Arah Gerakan Mahasiswa Sekarang?: Dari Refleksi Menuju Aksi, (Online), (http://indoprogress.com/2015/03/kemana-arah-gerakan-mahasiswa-sekarang-dari-refleksi-menuju-aksi, diakses pada 8 Februari 2016)

Suseno, Franz Magnis. 2013. Dari Mao ke Marcuse - Percikan Filsafat Marxis Pasca Lenin. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Ujan, Andre Ata. 2009. Filsafat Hukum Membangun Hukum Membela Keadilan. Yogyakarta: Kanisius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar