Seorang ayah menemukan sepucuk surat di bawah bantal
anaknya sehari setelah anak laki-lakinya memutuskan untuk pergi dari rumah.
Sang ayah menyadari bahwa kondisi rumah memang telah membuat anak laki-lakinya tersebut
kecewa. Dalam sepucuk surat tersebut sangat terlihat bagaimana si anak
menyesali keberadaannya di rumah.
Ayah, aku harus pergi. Aku pergi karena aku melihat
betapa menyedihkannya keluarga kita. Sampai saat ini aku tidak mengerti mengapa
Ibu meninggalkanku di saat aku membutuhkannya di sisiku. Aku juga belum
mengerti, mengapa aku selalu dijauhi teman-teman saat mereka mengetahui bahwa
ayah adalah seorang pengurus kebun sekolah. Aku juga masih terus mencari
jawaban, mengapa aku selalu menjadi begitu gelisah akan hidupku di saat aku
tahu bahwa aku tidak akan bisa melanjutkan pendidikanku sampai universitas. Ah,
aku menjadi sangat bingung ayah! Aku berjanji akan kembali saat aku telah
menemukan jawaban-jawaban akan kegelisahanku tersebut.
Sebagai manusia yang hidup di dunia, tentu kita pernah
mengalami kegelisahan seperti yang
dialami anak laki-laki di atas. Meskipun keputusan-keputusan yang kita ambil
berbeda dalam menjawabnya, kegelisahan tersebut selalu mengantarkan kita pada
pertanyaan-pertanyaan tentang tujuan dan keberadaan kita di dunia ini.
Mungkin, jenis-jenis pertanyaan ini pernah bergelayut dalam benak kita: “Apa
tujuan hidupku di dunia? Mengapa aku hidup di keluarga seperti ini? Mengapa aku
mendapatkan pekerjaan seperti ini? Mengapa aku harus menjadi mahasiswa di
jurusan yang tidak aku kehendaki seperti ini?” – dan tentunya masih banyak lagi dan begitu personal.
Adalah sangat mungkin apabila pertanyaan-pertanyaan tersebut membawa kita pada kesadaran bahwa kita adalah orang yang tersesat
di dunia ini – yang sebenarnya kita adalah terpenjara dalam
pertanyaan-pertanyaan kita sendiri tentang kehidupan kita. Pertanyaan-pertanyaan
eksistensial tersebut adalah fase penting dalam hidup kita dan sangat penting dalam upaya kita mengorganisasi masa depan. Dengan
berani menatap dan terus bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita
sesungguhnya telah masuk dalam track yang
benar dalam “ketersesatan” kita di dunia ini.
Kita
yang Terlempar dan Mencari Makna
Bagaimana kita memaknai tujuan dan makna kehidupan dalam “ketersesatan” di dunia ini? Hal
tersebut pertama-tama dapat kita tarik dari fakta yang paling awal dari hidup setiap manusia: keterlemparan. Ya, hidup kita
adalah suatu keterlemparan! Keterlemparan adalah fakta di mana kita kita
terlahir di dunia dalam kondisi yang “tidak
tahu apa-apa”: kita tidak tahu dan tidak meminta ditempatkan di keluarga yang
seperti apa, kita tidak tahu dan tidak meminta seperti apa ayah ibu dan
saudara-saudara kita, kita tidak tahu selanjutnya kita akan dididik ke atah
mana – kita terlempar begitu saja ke dunia yang kompleks ini!
Akan tetapi, dengan akal budi dan
kehendak untuk berkomitmen, kita dibedakan dengan mahkluk-mahkluk yang juga
sama-sama terlempar ke dalam kehidupan ini: kita dapat memaknai dan mengorganisasi
keadaan keterlemparan. Dalam memaknai keterlamparan tersebut, usaha pertama
yang dapat kita lakukan adalah dengan menyingkapkan kemungkinan-kemungkinan
yang ada dalam hidup keseharian kita. Sebagai contoh: oke aku adalah seorang mahasiswa perantau yang hanya punya uang
saku yang cukup untuk makan harian saja. Bagaimana aku dapat membeli buku-buku
untuk menunjang kuliahku? Oh, ternyata
ada beberapa kemungkinan yang bisa aku kerjakan, misalnya bekerja part-time sepulang kuliah, membuka studi
privat untuk teman-teman, atau bisa juga menjadi kurir fotokopian!
Mendedikasikan
Diri pada Satu Pilihan
Setelah kita berani menyingkapkan kemungkinan-kemungkian dalam hidup kita,
bagaimana kemudian kita memaknai secara penuh kondisi “keterlemparan” kita di
dunia ini? Tugas kita selanjutnya adalah memilih satu pilihan saja. Tugas
tersebut harus kita awali pula dari kesadaran bahwa kita tidak bisa memilih
banyak kemungkinan dalam hidup kita – kalau semuanya baik, ya kita harus tegas dan berani memilih yang satu terbaik. Pada
titik inilah yang merupakan fase vital dalam track pemaknaan “keterlemparan” kita, yaitu dengan berkomitmen untuk
bukan sekedar memilih namun mendedikasikan hidup kita pada pilihan tersebut.
Mendedikasikan diri mensyaratkan sikap tanggungjawab atas pilihan yang telah
kita buat atas track hidup kita
sendiri.
Mendedikasikan
diri pada satu pilihan berarti kita hidup dengan penuh perhatian akan pilihan
kita. Sebagai kelanjutan dari contoh diatas, oke aku sebagai mahasiwa rantau menyadari dengan sungguh bahwa aku
perlu untuk membeli buku-buku kuliah dan aku memilih untuk mendedikasikan diri
sebagai kurir fotokopian teman-teman untuk mencukupi kebutuhan kuliahku
tersebut! Nampaknya sangat sepele namun keputusan “memilih untuk mendedikasikan
diri” merupakan sebuah komitmen untuk sungguh-sungguh menjadikan diri sendiri
sumber dari secara rencana diri. Pada tahap dedikasi inilah, seorang pribadi
telah memilih track yang benar dalam
upaya memaknai “keterlemparan” hidupnya di dunia – pemaknaan yang akan terus
terjadi dalam suatu proses!
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar