Halaman

Sabtu, 26 September 2015

TERLEMPAR DI DUNIA


     
Seorang ayah menemukan sepucuk surat di bawah bantal anaknya sehari setelah anak laki-lakinya memutuskan untuk pergi dari rumah. Sang ayah menyadari bahwa kondisi rumah memang telah membuat anak laki-lakinya tersebut kecewa. Dalam sepucuk surat tersebut sangat terlihat bagaimana si anak menyesali keberadaannya di rumah.
Ayah, aku harus pergi. Aku pergi karena aku melihat betapa menyedihkannya keluarga kita. Sampai saat ini aku tidak mengerti mengapa Ibu meninggalkanku di saat aku membutuhkannya di sisiku. Aku juga belum mengerti, mengapa aku selalu dijauhi teman-teman saat mereka mengetahui bahwa ayah adalah seorang pengurus kebun sekolah. Aku juga masih terus mencari jawaban, mengapa aku selalu menjadi begitu gelisah akan hidupku di saat aku tahu bahwa aku tidak akan bisa melanjutkan pendidikanku sampai universitas. Ah, aku menjadi sangat bingung ayah! Aku berjanji akan kembali saat aku telah menemukan jawaban-jawaban akan kegelisahanku tersebut.    
  
***

Sebagai manusia yang hidup di dunia, tentu kita pernah mengalami kegelisahan seperti yang dialami anak laki-laki di atas. Meskipun keputusan-keputusan yang kita ambil berbeda dalam menjawabnya, kegelisahan tersebut selalu mengantarkan kita pada pertanyaan-pertanyaan tentang tujuan dan keberadaan kita di dunia ini. Mungkin, jenis-jenis pertanyaan ini pernah bergelayut dalam benak kita: “Apa tujuan hidupku di dunia? Mengapa aku hidup di keluarga seperti ini? Mengapa aku mendapatkan pekerjaan seperti ini? Mengapa aku harus menjadi mahasiswa di jurusan yang tidak aku kehendaki seperti ini?” – dan tentunya masih banyak lagi dan begitu personal.
Adalah sangat mungkin apabila pertanyaan-pertanyaan tersebut membawa kita pada kesadaran bahwa kita adalah orang yang tersesat di dunia ini – yang sebenarnya kita adalah terpenjara dalam pertanyaan-pertanyaan kita sendiri tentang kehidupan kita. Pertanyaan-pertanyaan eksistensial tersebut adalah fase penting dalam hidup kita dan sangat penting dalam upaya kita mengorganisasi masa depan. Dengan berani menatap dan terus bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita sesungguhnya telah masuk dalam track yang benar dalam “ketersesatan” kita di dunia ini.

Kita yang Terlempar dan Mencari Makna
Bagaimana kita memaknai tujuan dan makna kehidupan dalam “ketersesatan” di dunia ini? Hal tersebut pertama-tama dapat kita tarik dari fakta yang paling awal dari hidup setiap manusia: keterlemparan. Ya, hidup kita adalah suatu keterlemparan! Keterlemparan adalah fakta di mana kita kita terlahir di dunia dalam kondisi yang “tidak tahu apa-apa”: kita tidak tahu dan tidak meminta ditempatkan di keluarga yang seperti apa, kita tidak tahu dan tidak meminta seperti apa ayah ibu dan saudara-saudara kita, kita tidak tahu selanjutnya kita akan dididik ke atah mana – kita terlempar begitu saja ke dunia yang kompleks ini!
Akan tetapi, dengan akal budi dan kehendak untuk berkomitmen, kita dibedakan dengan mahkluk-mahkluk yang juga sama-sama terlempar ke dalam kehidupan ini: kita dapat memaknai dan mengorganisasi keadaan keterlemparan. Dalam memaknai keterlamparan tersebut, usaha pertama yang dapat kita lakukan adalah dengan menyingkapkan kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam hidup keseharian kita. Sebagai contoh: oke aku adalah seorang mahasiswa perantau yang hanya punya uang saku yang cukup untuk makan harian saja. Bagaimana aku dapat membeli buku-buku untuk menunjang kuliahku? Oh, ternyata ada beberapa kemungkinan yang bisa aku kerjakan, misalnya bekerja part-time sepulang kuliah, membuka studi privat untuk teman-teman, atau bisa juga menjadi kurir fotokopian!

Mendedikasikan Diri pada Satu Pilihan
            Setelah kita berani menyingkapkan kemungkinan-kemungkian dalam hidup kita, bagaimana kemudian kita memaknai secara penuh kondisi “keterlemparan” kita di dunia ini? Tugas kita selanjutnya adalah memilih satu pilihan saja. Tugas tersebut harus kita awali pula dari kesadaran bahwa kita tidak bisa memilih banyak kemungkinan dalam hidup kita – kalau semuanya baik, ya kita harus tegas dan berani memilih yang satu terbaik. Pada titik inilah yang merupakan fase vital dalam track pemaknaan “keterlemparan” kita, yaitu dengan berkomitmen untuk bukan sekedar memilih namun mendedikasikan hidup kita pada pilihan tersebut. Mendedikasikan diri mensyaratkan sikap tanggungjawab atas pilihan yang telah kita buat atas track hidup kita sendiri.
            Mendedikasikan diri pada satu pilihan berarti kita hidup dengan penuh perhatian akan pilihan kita. Sebagai kelanjutan dari contoh diatas, oke aku sebagai mahasiwa rantau menyadari dengan sungguh bahwa aku perlu untuk membeli buku-buku kuliah dan aku memilih untuk mendedikasikan diri sebagai kurir fotokopian teman-teman untuk mencukupi kebutuhan kuliahku tersebut! Nampaknya sangat sepele namun keputusan “memilih untuk mendedikasikan diri” merupakan sebuah komitmen untuk sungguh-sungguh menjadikan diri sendiri sumber dari secara rencana diri. Pada tahap dedikasi inilah, seorang pribadi telah memilih track yang benar dalam upaya memaknai “keterlemparan” hidupnya di dunia – pemaknaan yang akan terus terjadi dalam suatu proses!

***
       
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar