Di sebuah kota kecil
hiduplah seorang gadis yang begitu bersemangat dalam studi. Untuk meningkatkan kemampuan studinya, sang ayah berencana untuk mengirimkannya ke kota agar
mendapatkan pendidikan tinggi. Dengan senang hati si anak mencari-cari
universitas yang terkenal dan sesuai dengan minat akademisnya. Ia mempelajari
berbagai penawaran yang ia dapatkan dari berbagai universitas dan mencoba
mempertimbangkan dengan kemampuan finansial keluarganya. Di tengah usaha
pencariannya, si gadis juga mempelajari hal-hal hidup di kota sebab selama hidupnya
ia tidak pernah beranjak dari kota kecil tempat kelahirannya.
Minat si gadis untuk melanjutkan
pendidikan di kota surut seketika saat ia mendengar kata orang tentang betapa
kejamnya hidup di kota. Ia melihat berbagai peristiwa yang mengerikan di kota:
perampokan, pemerkosaan, sampai pembunuhan. Gambaran-gambaran peristiwa itu
sungguh menggelayut dalam benaknya dan membuat kemungkinan-kemungkinan lain
(baca: sisi lain kehidupan kota) seakan tidak mungkin. Si gadis itu semakin
masuk dalam gambaran-gambaran kekejaman hidup di kota dan dalam keadaan itu ia
mengambil sebuah keputusan: ia tidak jadi melanjutkan studinya dan memilih
mengurungkan niatnya karena termakan “kata orang”.
Hidup Kita Selalu Bersama “Mereka”
Ilustrasi singkat di atas memberi
gambaran kepada kita bahwa betapa “kata orang” bisa sangat signifikan
mempengaruhi hidup kita. Bagaimana “kata orang” dapat mempengaruhi hidup kita?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut kita harus memahami terlebih dahulu fakta
asali hidup setiap kita – bahwa setiap manusia selalu hidup bersama dengan
“mereka” (baca: orang lain). Kita tidak dapat menyamakan “mereka” dengan
keberadaan benda-benda di sekitar kita, seperti meja, batu, kursi, dan
sebagainya. Kehadiran kita yang senantiasa dengan “mereka” adalah suatu
realitas bahwa hidup kita adalah keberadaan yang bersama-sama.
Relasi kita dengan “mereka” tidak
dapat kita samakan dengan saat kita berelasi dengan benda-benda yang selalu ada
bagi kita. Kita tidak dapat menggunakan orang-orang di sekitar kita demi keuntungan
kita pribadi, seperti saat kita menggunakan cangkul, sabit, laptop – di mana
semuanya kita manfaatkan untuk kepentingan kita. Kita saling berbagi dunia ini
dengan “mereka” karena suatu fakta dasar, yaitu bahwa kita dan “mereka”
mempunyai kesadaran, kehendak, kebebasan yang sama sebagai manusia. Maka,
relasi dengan “mereka” merupakan suatu kesempatan untuk menemunkan pilihan
otentik kita dalam rangka mengorganisasi hari depan kita.
Relasi kita dengan mereka bukanlah
semata relasi praktis. Relasi praktis secara umum kita tunjukkan dalam hidup
kita sehari-hari terkait dengan benda-benda yang kita gunakan. Gampangnya, kita
berelasi dengan benda-benda dengan tujuan kita pribadi dan dengan demikiannlah
kita “menamai” benda-benda tersebut. Proses penamaan tersebut terjadi ketika
kita menentukan fungsinya, misalnya kayu yang dibelah dan dirakit untuk
dijadikan meja belajar. Saat berhadap dengan “mereka”, relasi kita harus
melebihi yang praktis itu sebab mereka adalah layaknya kita: sudah berada dalam
dirinya sendiri kesadaran akan “mereka” yang lain dan kesadaran akan hidup yang
bersama-sama.
Mereka dan “Kata Mereka”
Setelah kita memahami fakta bahwa
kita senantiasa hidup bersama dengan “mereka”, sekarang kita juga dapat
memahami bagaimana hidup kita juga selalu ada dalam pusaran “kata mereka”.
Realitas keberadaan “kata mereka” sesungguhnya sangat lekat dengan keseharian
kita: media massa sampai pada gosip-gosip dari tetangga. Ilustrasi di atas
menunjukkan dengan sangat sederhana bagaimana diri kita bisa masuk dapat
ketidakpastian (dan akhirnya memutuskan) saat kita begitu saja menerima “kata
mereka”. Hal yang menjadi persoalan di sini adalah, seperti yang dialami si
gadi di atas, bagaimana kita menyikapi dan mengambil tempat atas
keputusan-keputusan kita sendiri di tengath arus “kata mereka”.
Hal yang perlu kita sadari adalah
bahwa “kata mereka” bukanlah realitas yang buruk. Orang dapat saja menemukan
pilihan-pilihan hidup yang tepat ketika mereka juga berguru pada “kata mereka”,
misalnya orang yang sukses pergi merantau karena percaya kata tetangganya bahwa
di tanah rantau banyak pekerjaan yang menghasilkan banyak rupiah. Akan tetapi,
satu hal yang perlu disadari adalah bahwa “kata orang” senantiasa menuntut
kegigihan orang untuk mengalami sendiri, mencoba (bahkan gagal dulu), dan
kemudian baru mendedikasikan diri. Dalam hal ini “kata mereka” orang
mensyarakatkan suatu dedikasi diri agar kita mencapai pilihan yang tepat.
Di sisi lain, “kata mereka” adalah
realitas yang dapat membawa kita pada diri yang inautentik. Diri yang inautentik
dapat dipahami secara sederhana bahwa orang memilih bukan berdasarkan
pertimbangan dari dirinya sendiri atau ia tidak menjadi dasar atas
proyek-proyek dirinya. Si gadis dalam ilustrasi di atas dapat kita tempatkan
sebagai contoh pribadi yang inautentik karena ia lebih memilih untuk “tidak
memilih” karena kungkungan “kata orang” akan kehidupan kota. “Kata orang” dalam
kisah di atas telah menjadikan kota dalam gambaran si gadis tidak seperti
realitas aslinya yang menyeluruh. Dengan kata lain, “kata orang” telah menutupi
kemungkinan-kemungkinan lain yang mungkin dialami si gadis bila ia tetap
memutuskan pergi ke kota, misalnya masyarakat kota yang pekerja keras atau
fasilitas-fasilitas di kota yang memadahi untuk seorang pelajar.
Keluar dari “Kata Mereka”
Salah satu sikap yang harus diambil
dalam rangka menjadi pribadi yang autentik adalah sikap berani keluar dari
“kata mereka”. Keluar dari “kata mereka” adalah bentuk komitmen untuk mau
membentuk dan merancang sendiri hari depan kita. Keluar dari “kata mereka”
harus diawali dengan suatu keyakinan bahwa kita tidak akan pernah menjadi diri
kita sendiri selama pilihan-pilihan kita hanya bertolak dari “kata mereka”. Pribadi
yang otentik senantiasa mengorganisasi pilihan hidup, visi, pemikiran,
proyek-proyek berlandaskan suatu komitmen sederhana: “akulah sendirilah yang
bertanggungjawab pada hidupku sendiri, bukan orang lain”.
Keluar dari “kata mereka” bukan
perkara menjadi berbeda dengan orang kebanyakan, menjadi nyentrik, atau menjadi juga menjadi anti-mainstream. Keluar dari “kata mereka” adalah sikap kita untuk
sepenuhnya mendedikasikan diri atas pilihan hidup kita denga penuh perhatian. Bisa
jadi kita adalah mahasiswa, pekerja, ibu rumah tangga, atau kepala keluarga
seperti kebanyakan orang, namun dengan mendedikasikan diri pada piilihan kita
tersebut kita telah berkomitmen untuk keluar dari “kata mereka”. Menjadi diri
yang autentik bukan berarti menjadikan diri berbeda dan dianggap “gila”, namun
menjadikan diri berdedikasi atas pilihan pribadi dan tidak hanya memposisikan
diri terombang-ambing di luasnya samudra “kata mereka”.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar