Halaman

Minggu, 27 September 2015

TENTANG KATA “MEREKA”


       
       Di sebuah kota kecil hiduplah seorang gadis yang begitu bersemangat dalam studi. Untuk meningkatkan kemampuan studinya, sang ayah berencana untuk mengirimkannya ke kota agar mendapatkan pendidikan tinggi. Dengan senang hati si anak mencari-cari universitas yang terkenal dan sesuai dengan minat akademisnya. Ia mempelajari berbagai penawaran yang ia dapatkan dari berbagai universitas dan mencoba mempertimbangkan dengan kemampuan finansial keluarganya. Di tengah usaha pencariannya, si gadis juga mempelajari hal-hal hidup di kota sebab selama hidupnya ia tidak pernah beranjak dari kota kecil tempat kelahirannya.



           Minat si gadis untuk melanjutkan pendidikan di kota surut seketika saat ia mendengar kata orang tentang betapa kejamnya hidup di kota. Ia melihat berbagai peristiwa yang mengerikan di kota: perampokan, pemerkosaan, sampai pembunuhan. Gambaran-gambaran peristiwa itu sungguh menggelayut dalam benaknya dan membuat kemungkinan-kemungkinan lain (baca: sisi lain kehidupan kota) seakan tidak mungkin. Si gadis itu semakin masuk dalam gambaran-gambaran kekejaman hidup di kota dan dalam keadaan itu ia mengambil sebuah keputusan: ia tidak jadi melanjutkan studinya dan memilih mengurungkan niatnya karena termakan “kata orang”.



Hidup Kita Selalu Bersama “Mereka”

            Ilustrasi singkat di atas memberi gambaran kepada kita bahwa betapa “kata orang” bisa sangat signifikan mempengaruhi hidup kita. Bagaimana “kata orang” dapat mempengaruhi hidup kita? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut kita harus memahami terlebih dahulu fakta asali hidup setiap kita – bahwa setiap manusia selalu hidup bersama dengan “mereka” (baca: orang lain). Kita tidak dapat menyamakan “mereka” dengan keberadaan benda-benda di sekitar kita, seperti meja, batu, kursi, dan sebagainya. Kehadiran kita yang senantiasa dengan “mereka” adalah suatu realitas bahwa hidup kita adalah keberadaan yang bersama-sama.

            Relasi kita dengan “mereka” tidak dapat kita samakan dengan saat kita berelasi dengan benda-benda yang selalu ada bagi kita. Kita tidak dapat menggunakan orang-orang di sekitar kita demi keuntungan kita pribadi, seperti saat kita menggunakan cangkul, sabit, laptop – di mana semuanya kita manfaatkan untuk kepentingan kita. Kita saling berbagi dunia ini dengan “mereka” karena suatu fakta dasar, yaitu bahwa kita dan “mereka” mempunyai kesadaran, kehendak, kebebasan yang sama sebagai manusia. Maka, relasi dengan “mereka” merupakan suatu kesempatan untuk menemunkan pilihan otentik kita dalam rangka mengorganisasi hari depan kita.

            Relasi kita dengan mereka bukanlah semata relasi praktis. Relasi praktis secara umum kita tunjukkan dalam hidup kita sehari-hari terkait dengan benda-benda yang kita gunakan. Gampangnya, kita berelasi dengan benda-benda dengan tujuan kita pribadi dan dengan demikiannlah kita “menamai” benda-benda tersebut. Proses penamaan tersebut terjadi ketika kita menentukan fungsinya, misalnya kayu yang dibelah dan dirakit untuk dijadikan meja belajar. Saat berhadap dengan “mereka”, relasi kita harus melebihi yang praktis itu sebab mereka adalah layaknya kita: sudah berada dalam dirinya sendiri kesadaran akan “mereka” yang lain dan kesadaran akan hidup yang bersama-sama.       



Mereka dan “Kata Mereka”

            Setelah kita memahami fakta bahwa kita senantiasa hidup bersama dengan “mereka”, sekarang kita juga dapat memahami bagaimana hidup kita juga selalu ada dalam pusaran “kata mereka”. Realitas keberadaan “kata mereka” sesungguhnya sangat lekat dengan keseharian kita: media massa sampai pada gosip-gosip dari tetangga. Ilustrasi di atas menunjukkan dengan sangat sederhana bagaimana diri kita bisa masuk dapat ketidakpastian (dan akhirnya memutuskan) saat kita begitu saja menerima “kata mereka”. Hal yang menjadi persoalan di sini adalah, seperti yang dialami si gadi di atas, bagaimana kita menyikapi dan mengambil tempat atas keputusan-keputusan kita sendiri di tengath arus “kata mereka”.

            Hal yang perlu kita sadari adalah bahwa “kata mereka” bukanlah realitas yang buruk. Orang dapat saja menemukan pilihan-pilihan hidup yang tepat ketika mereka juga berguru pada “kata mereka”, misalnya orang yang sukses pergi merantau karena percaya kata tetangganya bahwa di tanah rantau banyak pekerjaan yang menghasilkan banyak rupiah. Akan tetapi, satu hal yang perlu disadari adalah bahwa “kata orang” senantiasa menuntut kegigihan orang untuk mengalami sendiri, mencoba (bahkan gagal dulu), dan kemudian baru mendedikasikan diri. Dalam hal ini “kata mereka” orang mensyarakatkan suatu dedikasi diri agar kita mencapai pilihan yang tepat.

            Di sisi lain, “kata mereka” adalah realitas yang dapat membawa kita pada diri yang inautentik. Diri yang inautentik dapat dipahami secara sederhana bahwa orang memilih bukan berdasarkan pertimbangan dari dirinya sendiri atau ia tidak menjadi dasar atas proyek-proyek dirinya. Si gadis dalam ilustrasi di atas dapat kita tempatkan sebagai contoh pribadi yang inautentik karena ia lebih memilih untuk “tidak memilih” karena kungkungan “kata orang” akan kehidupan kota. “Kata orang” dalam kisah di atas telah menjadikan kota dalam gambaran si gadis tidak seperti realitas aslinya yang menyeluruh. Dengan kata lain, “kata orang” telah menutupi kemungkinan-kemungkinan lain yang mungkin dialami si gadis bila ia tetap memutuskan pergi ke kota, misalnya masyarakat kota yang pekerja keras atau fasilitas-fasilitas di kota yang memadahi untuk seorang pelajar.



Keluar dari “Kata Mereka”

            Salah satu sikap yang harus diambil dalam rangka menjadi pribadi yang autentik adalah sikap berani keluar dari “kata mereka”. Keluar dari “kata mereka” adalah bentuk komitmen untuk mau membentuk dan merancang sendiri hari depan kita. Keluar dari “kata mereka” harus diawali dengan suatu keyakinan bahwa kita tidak akan pernah menjadi diri kita sendiri selama pilihan-pilihan kita hanya bertolak dari “kata mereka”. Pribadi yang otentik senantiasa mengorganisasi pilihan hidup, visi, pemikiran, proyek-proyek berlandaskan suatu komitmen sederhana: “akulah sendirilah yang bertanggungjawab pada hidupku sendiri, bukan orang lain”.

            Keluar dari “kata mereka” bukan perkara menjadi berbeda dengan orang kebanyakan, menjadi nyentrik, atau menjadi juga menjadi anti-mainstream. Keluar dari “kata mereka” adalah sikap kita untuk sepenuhnya mendedikasikan diri atas pilihan hidup kita denga penuh perhatian. Bisa jadi kita adalah mahasiswa, pekerja, ibu rumah tangga, atau kepala keluarga seperti kebanyakan orang, namun dengan mendedikasikan diri pada piilihan kita tersebut kita telah berkomitmen untuk keluar dari “kata mereka”. Menjadi diri yang autentik bukan berarti menjadikan diri berbeda dan dianggap “gila”, namun menjadikan diri berdedikasi atas pilihan pribadi dan tidak hanya memposisikan diri terombang-ambing di luasnya samudra “kata mereka”.



***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar