Halaman

Senin, 28 September 2015

ISTIMEWA TETAPI SAMA


           
   Berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia modern berimplikasi langsung pada tumbuh-pesatnya teknologi dan sarana informasi. Teknologi dan sarana informasi modern membawa banyak kemajuan pada perabadan manusia. Dewasa ini banyak orang mulai kritis dan melihat kembali konsekuensi-konsekuensi atas gerak perabadan modern manusia tersebut. Diskursus atas hal tersebut bertolak dari pertanyaan apakah gerak peradaban sungguh menjadikan manusia menemukan titik ultim ke-adab-annya atau justru sebaliknya. Satu hal yang mulai banyak disadari oleh masyarakat adalah fakta bahwa perabadan modern telah jauh meninggalkan sifat arif manusia kepada alam.


            Banyak fakta yang tersingkap dewasa ini menunjukkan bahwa alam telah menjadi korban atas usaha manusia untuk semakin menjadikan dirinya beradab. Pembukaan lahan-lahan baru perkebunan sawit di Kalimantan yang begitu sporadis seakan begitu saja melupakan jargon yang dulu pernah disematkan dunia pada Bumi Pertiwi: hutan adalah paru-paru dunia! Perpanjangan kontrak perusahaan pertambangan di Papua juga menunjukkan bahwa bagaimana alam begitu mudah dikorbankan dengan tujuan yang masih abstrak: kepentingan manusia. Apa yang mendasari terjadinya peristiwa-peristiwa ini? Bagaimana relasi yang tepat antara manusia dan alam?



Hidup diantara Manusia lain dan Benda-Benda

            Fakta yang paling mendasar dari hidup manusia adalah bahwa ia “terlempar” ke dunia. Fakta “keterlemparan” ini adalah bahwa manusia hadir dalam keadaan yang “tidak tahu” akan dunia tempatnya berpijak, namun kemudian melihat ke depan dan menyusun hidupnya. Dalam “keterlemparan” tersebut, manusia menyadari dirinya bahwa ia hidup bersama manusia lain yang sama-sama “terlempar” dalam suatu hidup bersama. Di samping itu, manusia juga menyadari bahwa ia berada di tengah entitas-entitas yang tidak memiliki kesadaran seperti manusia lainnya. Fakta keterlemparan ini menunjukkan bahwa manusia yang hidup di dunia berelasi dalam 2 dimensi yang bersama: manusia lain dan benda-benda.

            Saat berelasi dengan manusia lain, seorang manusia berelasi dengan cara yang khas sebagai sesama entitas yang memiliki kesadaran, kehendak, dan visi. Di lain pihak, relasi manusia dengan benda-benda di sekitarnya adalah bentuk relasi yang praktis. Manusia menggunakan benda-benda di sekitarnya untuk tujuannya pribadi sehingga benda-benda tersebut “ada untuk manusia”. Kita bisa melihat bagaimana meja, kursi, sepeda motor, memang ada untuk tujuan manusia, dan memang kitalah yang memberikan nama dan fungsi kepada mereka.

            Relasi manusia dengan benda-benda yang “ada untuk manusia” adalah bentuk relasi yang bersumber dari rasio teknologis manusia. Dengan rasio teknologisnya, manusia selalu berpikir mengkalkulasi hal-hal di sekitarnya untuk dijadikan sesuai kebutuhannya. Misalnya, seorang pembuat kursi selalu berpikir bagaimana membuat kursi yang proporsional saat ia berhadapan dengan sebongkah kayu jati. Dengan jalan memanfaatkan alam untuk tujuannya sendiri, manusia memiliki konsekuensi bahwa manusia harus memelihara alam. Memelihara alam lebih condong pada aspek futuristik dari keberlangsungan hidup dari umat manusia, yaitu ketika ia menghormati alam saat ini berarti ia juga menjalin relasi yang tepat dengan manusia-manusia masa depan.         



Kecenderungan yang Timpang: Rasio Teknologis

            Fakta-fakta eksploitasi alam di dunia modern menunjukkan relasi yang timpang antara manusia dengan alam. Hal ini memperlihatkan bahwa konsekuensi bahwa manusia harus memelihara alam sebagai aspek futuristik semesta tidak dipandang penting lagi. Konsep tentang peradaban modern telah membuat manusia jauh dari visi ke-adab-annya terhadap alam. Keuntungan dan modernitas selama ini telah memperalat rasio teknologis manusia hanya semata-mata untuk memanfaatkan alam demi tujuan imajinatif manusia. Pada titik inilah terjadi suatu ketimpangan, bahwa rasio teknologis dipisahkan dari konsekuensi untuk "memlihara" alam.

            Kecenderungan yang timpang ini tampak dalam usaha manusia untuk selalu menkalkulasi alam secara imajinatif seturut dengan visi modernitas. Manusia tidak melihat lagi apakah: hutan yang ditebang menjadi perumahan, kayu yang diambil untuk usaha properti, rawa-rawa yang diuruk untuk apartemen - memiliki dampak negatif terhadap usaha ke-adab-an itu sendiri. Kita perlu mengetahui bahwa alam memang memiliki gerak inheren untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Akan tetapi, fakta-fakta global warming telah menunjukkan bahwa manusialah yang menjadikan proses itu berjalan di tempat atau mandeg!

            Dengan ketidakarifan manusia pada alam dewasa ini, manusia sebenarnya sudah mendeterminasi "masa depan" bagi mereka yang akan tumbuh di hari depan. Sangat mungkin generasi manusia masa depan tidak akan lagi menjumpai kekayaan semesta yang dari hari ke hari mulai terpaksa punah demi mencapai "tujuan" manusia. Hal ini secara jelas mengindikasikan bahwa jargon-jargon tentang humanisme (hormatilah manusia) hanya berlaku untuk "hari ini saja" - sebab modernitas telah membatasi humanisme masa depan dengan perlakuan tidak arif akan alam saat ini.      



Memelihara: Istimewa tetapi Setara

            Penyebab utama terjadinya eksploitasi pada alam adalah manusia yang memandang dirinya lebih tinggi dari alam. Pandangan ini menjadikan manusia seakan berkuasa penuh untuk menentukan fungsi alam sesuai dengan kemauannya. Manusia cenderung terus mengkalkulasi alam dan menetapkan fungsinya - manusia adalah tuan yang absolut atas alam. Penetapan fungsi yang secara subjektif-imajinatif oleh manusia menjadikan keteraturan alam tidak lagi berjalan harmonis.

            Kesadaran yang perlu ditumbuhkan dalam relasi manusia dengan alam adalah bahwa manusia memiliki tanggungjawab untuk "memelihara" alam. Usaha pemeliharaan tersebut harus didasari oleh kesadaran bahwa manusia memang mahkluk "istimewa" namun setara. Manusia adalah "istimewa" karena manusia mampu menentukan fungsi alam; manusia adalah "setara" dengan benda-benda karena berada dalam satu fakta "keterlemparan". Dalam fakta "keterlemparan" tersebut, manusia memang memiliki tanggungjawab untuk saling membantu manusia lain untuk menemukan makna, yang salah satu caranya dengan mampu "memlihara" alam sebagai sarana hidup bersama.



***            

           

                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar