Oleh: Ferdian Dwi Prastiyo
Ada kalanya di suatu waktu, kita tidak membutuhkan uang, penghargaan, atau pujian dari orang lain; namun kita butuh keheningan. |
Setiap
orang yang menjalani kehidupan di dunia ini, termasuk juga seminaris,
pasti pernah mengicipi yang namanya frustasi, kecewa, penderitaan,
merasa hidup nggak bermakna, sakit yang nggak sembuh-sembuh,
kehilangan harapan, dan semua pengalaman itu dilukiskan dalam satu kata
ini: Padang Gurun! Padang gurun adalah objek yang tepat buat
menggambarkan kepahitan-kepahitan hidup; tandus, jarang ada air, jarang
ada vegetasi, dan tanah yang tidak diberkati Tuhan. Bahkan dia (baca:
padang gurun) adalah “tempat kediaman roh-roh jahat dan
binatang-binatang liar (Im 16:8; 17:7; Yes 13:21; 34:14; Mat 8:28; Why
18:2). Lebih dalam lagi, pengalaman padang gurun adalah pengalaman batin
yang menyentuh daerah psikologis dan spiritual kita. Bersifat
psikologis karena berhubungan dengan pengalaman “kehilangan” orang yang
kita cintai misalnya, dan bersifat spiritual sebab ada hubungannya
dengan “ketidakhadiran Allah” yang mungkin saja kita rasakan saat kita
melangkah di padang gurun hidup kita, khususnya di kala kita menjalani
pembinaan di seminari. Kita pasti punya pengalaman padang gurun yang
bisa jadi berbeda satu sama lain (bahkan kalau pun kita punya saudara
kembar loh!), tetapi yang biasanya kita alami di masa-masa pembinaan seperti ini antara lain adalah rutinitas (daily routine), kesepian (loneliness), dan hidup yang rasa-rasanya nggak bermakna sama sekali (meaninglessness).
Namun
kita, sebagai seorang seminaris, terkadang - atau bahkan sering kali -
memandang pengalaman padang gurun dari segi pahitnya saja, sebenarnya sich,
pengalaman ini adalah suatu transisi atau “tempat retret pribadi”
menuju ketenangan, kegembiraan, dan sukacita dalam menjalani pembinaan
di “Kawah Candradimuka”. Hal tepat yang dapat kita lakukan dalam masa
ini bukanlah, mencari pelarian pada hal-hal semu; menghabiskan waktu di
ruang komputer untuk hal-hal yang nggak penting, mengkritik guru atau romo tanpa alasan, atau marah-marah nggak
jelas sebab saat main basket, melainkan kita harus menjalankan retret
pribadi itu dalam keheningan! Di sinilah pentingnya keheningan.
Keheningan berarti kita mau mengosongkan diri, dan mengijinkan Tuhan
mengisi kekosongan itu. Keheningan bermakna pula ketika rasa damai dari
Tuhan merasuki hati kita, dan jadilah rasa damai, tenang, dan sukacita
luar biasa yang menaungi kita kayak oasis di tengah padang gurun kita.
Untuk
melangkah di tengah padang gurun harian kita, kita bisa menyikapinya
dengan hening dan membiarkan Allah mengisi kekosongan itu dengan rahmat
dan berkat-Nya. Pertama-tama, kita harus menyadari seperti yang ada
dalam tulisan Thomas Merton dalam buku yang berjudul Dalam Keheningan karya Rm. Suriakus Maria Ndolu O.Carm: “Kita
perlu dikosongkan. Sebaliknya, doa itu hanyalah sebuah permainan. Jalan
yang paling efektif dan yang paling sederhana menuju kesucian adalah
menghilang ke dalam dasar rutinitas harian kita”. Dengan model
pemahaman semacam ini kita dituntun untuk menyadari
“kekosongan-kehampaan” dalam “rutinitas” harian di seminari dan ini
adalah langkah baik untuk purifikasi (=pemurnian) motivasi panggilan
kita. Selanjutnya, kita pahami pula kalau rutinitas pembinaan ini
dirancang untuk menjadi sebuah kerinduan akan Allah. Kerinduan itu
semacam “air ilahi” yang dengan lembutnya mengairi tanah kehidupan
panggilan kita. Allah ingin supaya kita ngrasain haus yang semacam ini, yaitu kerinduan akan cinta-Nya seperti pemazmur tuliskan: “Seperti rusa merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau ya Allah” (Mzm, 41:4). Nah, demikianlah keheningan membawa kita pada nilai tertinggi dari rutinitas harian di seminari, yaitu kita yang dibimbing ke tempat yang punya “rumput yang hijau” dan “air yang tenang” dalam hidup panggilan kita, ya walaupun harus lewat “lembah kekelaman” (=pengalaman padang gurun).
Selain
padang gurun “rutinitas” yang membawa kita pada “kekosongan-kehampaan”,
di padang gurun “kesepian” kita mengalami semacam perasaan
“ditinggalkan”. Kesepian adalah situasi batin yang menderita akibat
dipisahkan dari orang yang kita cintai seperti waktu teman sepanggilan
memilih “dunia lain” sebagai jalan hidupnya, dan pastinya kita juga
harus ambil sikap dalam keheningan di padang gurun macam kayak gini.
Pertama, kita harus berani mengatakan bahwa kesepian itu bagian dari
kehidupan kita! Keadaan sepi terkadang juga penting di waktu kita mau
mengambil keputusan besar, di mana kita harus “terpisah” dan masuk ke
dalam diri kita, seperti saat seminaris kelas XII mau nggambil keputusan lanjut ke kelas IV atau nggak.
Dalam keheningan, kita juga dapat memaknai padang gurun kesepian
sebagai cermin “kemiskinan” kita; kita butuh orang lain untuk melengkapi
kita. Artinya, kesepian menghantar kita pada kerinduan akan kemesraan
relasional yang sempurna. Dengan begitu, keheningan telah mengajak kita
pada makna terdalam padang gurun kesepian; kesepian adalah bagian yang
tak terpisahkan dari hidup panggilan kita dan mendorong kita pada relasi
yang lebih intim dengan teman sepanggilan, dan juga orang-orang lain.
Selain
dua padang gurun di atas yang dapat kita lampaui dengan langkah
keheningan, keheningan juga membantu kita dalam melewati padang gurun
“ketiadaan makna” atau yang pas kita sebut dengan istilah keren yang
satu ini: galau. Kisah Ayub dalam Perjanjian Lama adalah kisah seorang
manusia yang dicampakkan ke dalam padang gurun “ketiadaan makna” oleh
musibah yang tiba-tiba. Coba kita bayangkan, pada hari yang sama Ayub
kehilangan semua harta miliknya serta anak-anaknya. Kemudian ia dijalari
oleh penyakit kulit yang menjijikkan. Ayub tak dapat memahami musibah
yang menimpanya ini, dan betapa galau hatinya waktu itu sehingga ia
mengutuk hari kelahirannya dan ingin segera mati! (Ayb 3:1). Padang
gurun seperti punya Ayub ini adalah bentuk pengalaman “ketiadaan makna”,
nilai atau kegunaan dalam apapun juga, bahkan hidup pun terasa sama
sekali nggak ada maknanya. Mungkin kita pernah mengalami keadaan kayak gini: rapot semester merah semua, terus kena marah bokap-nyokap,
ditambah dari romo paroki, terus jadi bahan sindiran teman-teman, dan
seterusnya sampai virus kegalauan merasuki hati hingga akhirnya “hidupku nggak artinya di seminari, Tuhan nggak memanggilku”. Nah,
kalau kita lagi punya padang gurun seperti itu, hendahnya kita masuk ke
dalam keheningan dan melakukan satu langkah ini: menerima. Menerima
berarti dengan berani menghadapai ketidakpastian, dan membuka diri atas
keadaan. Dengan menerima, kita memilih hal yang tepat bagi diri kita,
sebab menerima “ketiadaan makna” berarti kita melakukan tindakan
bermakna. Tindakan itulah yang kita sebut keberanian dalam keheningan.
Dengan demikian, tindakan keberanian dalam keheningan membuat kita mampu
buat mengatasi pengalaman padang gurun dan memasukkan kita lebih dalam
ke dalam misteri kehidupan panggilan.
Akhirnya,
itulah langkah-langkah dalam keheningan buat kita -seminaris- yang
hendaknya kita lakukan bila kita sedang melangkah di padang gurun atau
“retret pribadi” hidup panggilan kita, hingga akhirnya kita ketemu aptheita; ketenangan,
kegembiraan, dan sukacita, yang dialami setelah melewati padang gurun.
Itulah sukacita Paskah! Kata Inggris untuk Paskah adalah Passover yang berarti melewati. Ya, melewati situasi krisis, situasi transisi, di padang gurun kehidupan panggilan kita. (Ferdian Dwi Prastiyo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar