Halaman

Sabtu, 26 Mei 2012

JADI SEMINARIS CEKATAN ITU PENTING LOH….


Oleh: Ferdian Dwi Prastiyo


Jadi cekatan, kayak Hendro Kartiko, hahaha....
       Suatu hari ketika saya liburan, saya sedang mengikuti Perayaan Ekaristi dan dengan antusias mendengarkan homili romo yang pada waktu itu membahas tentang kehidupan calon imam. Awalnya saya bangga mendengarkan pembukaan homili romo tersebut, yang kebanyakan menceritakan kehidupan calon-calon pada zamannya dulu (kebetulan ini romo yang sudah berumur). Dia menceritakan bagaimana para calon imam zaman dulu begitu cekatan dan pekerja keras. Dia juga menceritakan totalitas calon imam pada waktu itu, khususnya dalam hal studi sehingga nggak kalah sama murid-murid dari sekolah-sekolah favorit. “Waow…”, kata saya dalam hati.
 Namun, perasaan bangga itu mulai luntur dari mata saya, ketika romo ini mulai membanding-bandingkan calon imam zamannya dan calon imam atau seminaris zaman ini. “Seminaris sekarang cari enaknya sendiri, kurang kerja keras, kurang cekatan, lembek….”, kata romo ini dengan lantangnya. Mendengar itu, serasa ada yang menyogrok telinga saya pakai Tugu Pahlawan. Kurang cekatan? Apa sih maksudnya? Saya pikir: mikirin soal panggilan, tugas-tugas sekolah, kefungsionarisan, organisasi siswa, persipan buat HOT atau Pensi, belum lagi kalau kena urusan dengan formator, dan seterusnya, nafas saja nggak sempat. Kurang cekatan yang bagaimana lagi?
   Dalam perjalanan pulang dari gereja, kata “cekatan” masih menggelayut di pikiran saya bersama dengan lantangnya “ejekan” romo dalam homilinya tadi – ya, soalnya saya kan juga seminaris, untung waktu itu cuma beberapa orang saja yang tahu. Saya berusaha menemukan makna “ejekan” yang tersimpan secara intelektual dalam homili itu. Dari banyak pemikiran yang lalu lalang di benak saya layaknya jalan tol di jam-jam kerja, saya mendapatkan makna bahwa seminaris yang cekatan itu adalah orang yang mampu mendahulukan yang utama. Aha, dan saya pikir itulah yang dipesankan romo dalam homili tadi untuk seminaris sekarang! Mendahukukan yang utama berarti belajar menentukan prioritas dan mengatur waktu kita sehingga yang penting didahulukan, bukan ditunda. Sebab kehidupan yang serba terjadwal di seminari bukan berarti dapat menjauhkan seminaris dari sikap kompromistis, seperti menunda-nunda pengumpulan tugas, malas-malasan berprinsip “pokoke melu” (=pokoknya ikut), dan yang lainnya. Mendahulukan yang utama berarti memupuk pula kebiasaan daya kemauan – kekuatan mengatakan ya kepada hal-hal yang paling penting bagi kita – dan daya menolak – kekuatan untuk mengatakan tidak pada hal-hal yang kurang penting.
            Berusaha menjadi  seminaris yang cekatan dengan mendahulukan yang utama, pertama-tama kita harus mampu membuat prioritas sehari-hari di samping jadwal komunitas. Seperti saat kita mengemas pakaian ke dalam koper waktu akan berangkat bertamasya, kita harus menentukan pakaian yang harus masuk dahulu dan yang bisa masuk belakangan saja. Dan hasilnya tentu lebih memuaskan daripada kita memasukkan pakaian itu dengan sembarangan atau bahkan memaksanya berhimpit-himpitan seperti orang naik angkutan umum waktu musim mudik – yang barangkali justru bisa merusak koper kita. Begitu juga dengan hidup kita di seminari. Menentukan prioritas berarti memilih mengerjakan hal-hal penting namun tidak mendesak. Mungkin selama ini (semoga saja salah) kita suka menunda hal-hal penting karena tidak mendesak, dan akhirnya semuanya itu dating laksana tsunami di siang bolong; ujian semester tinggal besok dan kita belum belajar satu bab pun; KTI harus dikumpulkan besok pagi dan hari ini kita baru mulai mengerjakan; atau pentas drama buat Hari Orang Tua yang digelar nanti sore dan kita belum hafal satu pun skrip-nya. Bisa saja kita mengerjakannya walau dalam waktu sesingkat itu, tetapi semua tentu akan lebih maksimal dengan perencanaan dan prioritas yang baik, serta tidak menggunakan alih-alih “the power of kepepet” (kekuatan yang timbul karena situasi kepepet). So, dengan begitu, hidup kita di seminari akan lebih terkendali, seimbang, dan berprestasi tinggi.
            Di samping itu, menjadi seminaris yang cekatan dengan mendahulukan yang utama artinya juga punya keberanian untuk tetap berpegang pada hal-hal yang sungguh penting tersebut. Ini berarti juga bahwa seringkali kita akan keluar dari wilayah kenyamanan kita . Wilayah nyaman kita mewakili hal-hal yang enak bagi kita; jalan-jalan bersama teman-teman saat jam bebas luar, acara TV yang kita sukai, atau juga bersantai di waktu jam bebas dalam. Dan kita harus berani berpegang pada prioritas kita di kala hal-hal itu seperti puding coklat di meja makan yang siap kita lahap; tidak ikut teman jalan-jalan saat jam bebas luar karena belajar untuk presentasi karya tulis dua hari lagi, tidak nonton Indonesian Idol karena persiapan ujian seminggu lagi, atau juga memotong waktu santai di waktu jam bebas dalam buat lebih awal mengerjakan tugas membuat essai Pengembangan Budaya. Pasti awalnya ada rasa berontak dalam diri kita, akan tetapi dengan begitulah kita mampu memiliki hidup yang lebih teratur.
Selain dua hal di atas yang harus kita lakukan, menjadi seminaris yang cekatan berarti seminaris yang disiplin, disiplin untuk membuat prioritas dan disiplin untuk berani. Disiplin memang terkadang bermakna bahwa kita harus melakukan hal yang kurang menyenangkan – atau bahkan membuat kita muak – tapi kita harus sadari bahwa itu semua akan membawa kita pada tujuan hidup kita. Seperti cuplikan kisah dalam milik Sean Covey, yang mengisahkan tentang seorang pegulat profesional dari salah satu universitas di Amerika. Pegulat ini ditanya, apa hari yang paling dikenang selama karirnya. Dan tidak seperti pegulat-pegulat profesional lain yang biasanya menjawab tentang perjuangan meraih kemenangan melawan musuh bebuyutannya atau ketika ia berhasil menjuarai olimpiade gulat profesional untuk pertama kalinya, ia menjawab hari yang paling dikenang selama karirnya adalah ketika latihan ditiadakan! Wah, mungkin ini bakal terdengar konyol banget tapi sangat mengena. Ia benci latihan, tetapi bersedia menjalankannya demi tujuannya yang lebih besar, yaitu visinya untuk menjadi yang terbaik. Jelas kiranya, bahwa disiplin menyokong prioritas dan keberanian kita dalam menentukan hal yang penting.
Dan akhirnya makna untuk menjadi seminaris yang cekatan dapat kita temukan, bahwa artinya adalah mampu mendahulukan yang utama. Mudahnya, menjadi seminaris yang cekatan dapat kita umpamakan seperti ketika kita meracik sebuah minuman panas untuk begadang nonton bola bersama teman-teman kita, dan racikannya harus tepat; berisi satu sendok teh prioritas, satu sendok teh keberanian untuk menentukan, dan kita aduk dengan kedisiplinan. Sajikan, dan nikmati kedahsyatannya!(Ferdian Dwi Prastiyo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar