Oleh:
Ferdian Dwi Prastiyo
Jadi cekatan, kayak Hendro Kartiko, hahaha.... |
Suatu hari ketika saya liburan, saya sedang
mengikuti Perayaan Ekaristi dan dengan antusias mendengarkan homili romo yang
pada waktu itu membahas tentang kehidupan calon imam. Awalnya saya bangga
mendengarkan pembukaan homili romo tersebut, yang kebanyakan menceritakan kehidupan
calon-calon pada zamannya dulu (kebetulan ini romo yang sudah berumur). Dia
menceritakan bagaimana para calon imam zaman dulu begitu cekatan dan pekerja
keras. Dia juga menceritakan totalitas calon imam pada waktu itu, khususnya dalam
hal studi sehingga nggak kalah sama
murid-murid dari sekolah-sekolah favorit. “Waow…”,
kata saya dalam hati.
Namun, perasaan
bangga itu mulai luntur dari mata saya, ketika romo ini mulai
membanding-bandingkan calon imam zamannya dan calon imam atau seminaris zaman
ini. “Seminaris sekarang cari enaknya
sendiri, kurang kerja keras, kurang cekatan, lembek….”, kata romo ini
dengan lantangnya. Mendengar itu, serasa ada yang menyogrok telinga saya pakai Tugu Pahlawan. Kurang cekatan? Apa sih
maksudnya? Saya pikir: mikirin
soal panggilan, tugas-tugas sekolah, kefungsionarisan, organisasi siswa, persipan
buat HOT atau Pensi, belum lagi kalau kena urusan dengan formator, dan
seterusnya, nafas saja nggak sempat. Kurang cekatan yang bagaimana lagi?
Dalam
perjalanan pulang dari gereja, kata “cekatan” masih menggelayut di pikiran saya
bersama dengan lantangnya “ejekan” romo dalam homilinya tadi – ya, soalnya saya kan juga seminaris, untung waktu itu cuma beberapa orang saja yang
tahu. Saya berusaha menemukan makna “ejekan” yang tersimpan secara intelektual
dalam homili itu. Dari banyak pemikiran yang lalu lalang di benak saya layaknya
jalan tol di jam-jam kerja, saya mendapatkan makna bahwa seminaris yang cekatan
itu adalah orang yang mampu mendahulukan yang utama. Aha, dan saya pikir itulah yang dipesankan romo dalam homili tadi
untuk seminaris sekarang! Mendahukukan yang utama berarti belajar menentukan
prioritas dan mengatur waktu kita sehingga yang penting didahulukan, bukan
ditunda. Sebab kehidupan yang serba terjadwal di seminari bukan berarti dapat
menjauhkan seminaris dari sikap kompromistis, seperti menunda-nunda pengumpulan
tugas, malas-malasan berprinsip “pokoke
melu” (=pokoknya ikut), dan yang lainnya. Mendahulukan yang utama berarti
memupuk pula kebiasaan daya kemauan –
kekuatan mengatakan ya kepada hal-hal
yang paling penting bagi kita – dan daya
menolak – kekuatan untuk mengatakan tidak pada hal-hal yang kurang penting.
Berusaha
menjadi seminaris yang cekatan dengan
mendahulukan yang utama, pertama-tama kita harus mampu membuat prioritas
sehari-hari di samping jadwal komunitas. Seperti saat kita mengemas pakaian ke
dalam koper waktu akan berangkat bertamasya, kita harus menentukan pakaian yang
harus masuk dahulu dan yang bisa masuk belakangan saja. Dan hasilnya tentu
lebih memuaskan daripada kita memasukkan pakaian itu dengan sembarangan atau
bahkan memaksanya berhimpit-himpitan seperti orang naik angkutan umum waktu
musim mudik – yang barangkali justru bisa merusak koper kita. Begitu juga
dengan hidup kita di seminari. Menentukan prioritas berarti memilih mengerjakan
hal-hal penting namun tidak mendesak. Mungkin selama ini (semoga saja salah)
kita suka menunda hal-hal penting karena tidak mendesak, dan akhirnya semuanya
itu dating laksana tsunami di siang bolong; ujian semester tinggal besok dan
kita belum belajar satu bab pun; KTI harus dikumpulkan besok pagi dan hari ini
kita baru mulai mengerjakan; atau pentas drama buat Hari Orang Tua yang digelar
nanti sore dan kita belum hafal satu pun skrip-nya. Bisa saja kita
mengerjakannya walau dalam waktu sesingkat itu, tetapi semua tentu akan lebih
maksimal dengan perencanaan dan prioritas yang baik, serta tidak menggunakan
alih-alih “the power of kepepet”
(kekuatan yang timbul karena situasi kepepet).
So, dengan begitu, hidup kita di
seminari akan lebih terkendali, seimbang, dan berprestasi tinggi.
Di
samping itu, menjadi seminaris yang cekatan dengan mendahulukan yang utama
artinya juga punya keberanian untuk tetap berpegang pada hal-hal yang sungguh
penting tersebut. Ini berarti juga bahwa seringkali kita akan keluar dari
wilayah kenyamanan kita . Wilayah nyaman kita mewakili hal-hal yang enak bagi
kita; jalan-jalan bersama teman-teman saat jam bebas luar, acara TV yang kita
sukai, atau juga bersantai di waktu jam bebas dalam. Dan kita harus berani
berpegang pada prioritas kita di kala hal-hal itu seperti puding coklat di meja
makan yang siap kita lahap; tidak ikut teman jalan-jalan saat jam bebas luar
karena belajar untuk presentasi karya tulis dua hari lagi, tidak nonton
Indonesian Idol karena persiapan ujian seminggu lagi, atau juga memotong waktu
santai di waktu jam bebas dalam buat lebih awal mengerjakan tugas membuat essai
Pengembangan Budaya. Pasti awalnya ada rasa berontak dalam diri kita, akan
tetapi dengan begitulah kita mampu memiliki hidup yang lebih teratur.
Selain dua hal di atas yang harus kita lakukan,
menjadi seminaris yang cekatan berarti seminaris yang disiplin, disiplin untuk
membuat prioritas dan disiplin untuk berani. Disiplin memang terkadang bermakna
bahwa kita harus melakukan hal yang kurang menyenangkan – atau bahkan membuat
kita muak – tapi kita harus sadari bahwa itu semua akan membawa kita pada
tujuan hidup kita. Seperti cuplikan kisah dalam milik Sean Covey, yang
mengisahkan tentang seorang pegulat profesional dari salah satu universitas di
Amerika. Pegulat ini ditanya, apa hari yang paling dikenang selama karirnya.
Dan tidak seperti pegulat-pegulat profesional lain yang biasanya menjawab
tentang perjuangan meraih kemenangan melawan musuh bebuyutannya atau ketika ia
berhasil menjuarai olimpiade gulat profesional untuk pertama kalinya, ia
menjawab hari yang paling dikenang selama karirnya adalah ketika latihan
ditiadakan! Wah, mungkin ini bakal
terdengar konyol banget tapi sangat
mengena. Ia benci latihan, tetapi bersedia menjalankannya demi tujuannya yang
lebih besar, yaitu visinya untuk menjadi yang terbaik. Jelas kiranya, bahwa
disiplin menyokong prioritas dan keberanian kita dalam menentukan hal yang
penting.
Dan akhirnya makna untuk menjadi seminaris yang
cekatan dapat kita temukan, bahwa artinya adalah mampu mendahulukan yang utama.
Mudahnya, menjadi seminaris yang cekatan dapat kita umpamakan seperti ketika
kita meracik sebuah minuman panas untuk begadang nonton bola bersama
teman-teman kita, dan racikannya harus tepat; berisi satu sendok teh prioritas,
satu sendok teh keberanian untuk menentukan, dan kita aduk dengan kedisiplinan.
Sajikan, dan nikmati kedahsyatannya!(Ferdian Dwi Prastiyo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar