https://s-media-cache-ak0.pinimg.com |
Istilah
"postmodern" adalah istilah yang digunakan bertebaran di mana-mana
sehingga memiliki makna yang kabur. Istilah
"postmodern" secara sangat kontroversial dalam berbagai bidang,
antara lain dalam musik, seni rupa, fiksi, drama, fotografi, arsitektur, karya
sastra, antropologi, sosiologi, dan filsafat. Akhirnya "isme" dalam
"postmodern" juga menambah kekaburan makna, yaitu merujuk pada
kritik-kritik filosofis modern, situasi global dewasa ini, dan kesan seperti
pemikiran tunggal. Awalan "post" dalam "postmodernisme"
juga menimbulkan perdebatan, misalnya tentang makna "post" yang
merujuk pada pemutusan hubungan pemikiran total dari segala pola kemodernan.
Istilah "postmodern"
muncul secara kronologis pertama-tama dalam bidang seni, sosial-ekonomi,
kebudayaan, dan filsafat.
Fenomena postmodern dalam bidang seni yang muncul pertama kali dalam pemikiran
Frederico de Onis (1930). Postmodern dalam bidang seni menunjukkan
kecenderungan akan hilangnya batas seni dan keseharian, budaya populer yang
tidak "mendalam", sampai pada hilangnya orisinalitas dan kegeniusan.
Dalam bidang sosial-ekonomi, "postmodern" ditunjukkan dengan
berkembangnya kecenderungan membumbungya
kesenangan dan keinginan. Di samping itu, dominasi teknologi reproduksi dalam
jaringan global kapitalisme multinasional juga merupakan fenomena
"postmodern" dalam bidang kebudayaan.
Kemunculan terminologi-terminologi "postmodern"
pada lintasan sejarah pemikiran menunjukkan fakta bahwa postmodern merupakan
realitas aktual kehidupan umat manusia di abad ke-21.
Berlandaskan fakta aktual yang dibaca oleh para pemikir dalam bidang seni,
sosial-ekonomi, dan kebudayaan, maka postmodern mempunyai beberapa ciri
penting: penolakan akan narasi-narasi besar modernitas yang gagal, teknologi
informasi yang populer, dan masyarakat konsumeristis.
POSTMODERNISME DALAM KONTEKS
FILSAFAT
Istilah "postmodern" juga merambah pada
bidang filsafat yang secara khusus dikaitkan dengan paham-paham filosofis yang
muncul pasca Perang Dunia II. Jean-Francois Lyotard melalui bukunya "The
Postmodern Condition: A Report on Knowledge", yang terbit dalam bahasa
Inggris tahun 1984, menandai locus classicus untuk postmodernisme dalam
bidang filsafat.
Karya tersebut tidak dapat dipisahkan dari latar belakang masyarakat dunia
pasca PD II dalam bidang sosial, politik dan budaya.
Latar Belakang Filsafat Postmodern
Postmodernisme secara umum adalah usaha untuk
mencari kebaruan yang sekaligus penolakan realitas dunia yang dominasi sains
dan kapitalisme. Dominasi sains dan kapitalisme telah membawa konsekuensi buruk
bagi manusia dalam alam pada umumnya. Pandangan dualistik, seperti subjek (manusia) dan objek
(alam), telah mengakibatkan krisis ekologi di mana eksploitasi alam begitu
marak. Model relasi subjek-objek ini juga diterapkan pada manusia, dengan menempatkan manusia lain sebagai "mesin". Dalam hidup
sosial terjadi pula disorientasi moral-religius yang disebabkan oleh domininasi positivisme.
Realitas tersebut di atas kemudian
berujung pada materialisme ontologis, yaitu munculnya keinginan untuk
mengontrol hal-hal materi secara terus menerus.
Di samping itu, muncul pula konsekuensi negatif yaitu militerisme.
Militerisme adalah pemahaman bahwa kekuasaan koersif dinilai sebagai
satu-satunya cara mengatur manusia, misalnya dengan persenjataan nuklir.
Tribalisme juga muncul sebagai dalam bidang keanekaragaman bangsa dan hidup
bersama. Tribalisme adalah mentalitas mengunggulkan suku atau kelompok sendiri.
Penghayatan fundamentalisme agama yang merupakan fenomena aktual juga merupakan
lahan xyang menyuburkan mentalitas tribalisme.
Persoalan Pokok dalam Filsafat
Postmodern: Penolakan pada Modernisme
Filsafat
postmodern merupakan gerakan yang muncul sebagai kritik atas modernism, yang pada abad-20 begitu identik dengan
dominasi sains dan kapitalisme. Filsafat postmodern mengkritisi timbulnya
dominasi sains dan kaptalisme yang disebabkan oleh cara ilmu pengetahuan
dilegitimasi melalui "narasi besar" seperti Kebebasan, Kemajuan, atau
juga Emansipasi kaum proletar. Lyotard menyatakan bahwa "narasi
besar" yang merupakan produk kebudayaan Barat harus ditolak karena ia
telah kehilangan kredibilitasnya dan tinggal seakan-akan menjadi otoritas.
Oleh karena itu, filsafat postmodern ditandai dengan upaya tak henti-hentinya
mencari kebaruan yang merujuk pada segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas
metafisika pada umumnya.
Postmodernisme sebagai suatu gerakan pemikiran-pemikiran filosofis
dapat dilihat sebagai bentuk-bentuk skeptisme akan modernisme yang telah
menjelma menjadi otoritas, "kebijaksanaan-kebijaksanaan" dogmatis,
norma-norma budaya dan politik, dll.
Skeptisme tersebut adalah bentuk pemikiran yang menegasi dan menanyakan kembali
makna kebenaran dan hal-hal yang menjamin kebenaran tersebut. Bentuk pemikiran
ini kemudian dikenal sebagai anti-fondasionalisme, yang berfokus pada kebaruan
dasar-dasar dalam diskursus tentang makna kebenaran. Anti-fondasionalisme
sebagai ciri filsafat postmodern secara umum berakar dari filsafat Freidrich
Nietzsche yang menyerukan "revaluasi semua nilai" untuk merumuskan
realitas yang baru.
Poststrukturalisme sebagai Gerakan Besar
dalam Filsafat Postmodern
Modernisme yang identik dengan
"narasi besar" seperti Dialetika Roh atau juga Dialetika Materialisme
dinilai oleh para pemikir postmodern telah membentuk gambaran dunia yang
strukturalis. Dunia strukturalis adalah dunia dengan paham-paham otoritas
tetap, seperti Kebenaran dan Kemajuan, yang di sisi lain secara tidak langsung
menilai "liyan" terhadap
realitas-realitas di luar struktur. Anti-fondasionalisme yang merupakan ciri
filsafat postmodern menciptakan diskursus dan gerakan yang luas di bawah nama
"poststrukturalisme".
Postsrukturalisme
adalah bentuk penolakan terhadap tradisi pemikiran strukturalis. Poststrukturalisme merupakan gerakan budaya
yang meluas dalam berbagai disiplin intelektual dan juga merupakan bentuk
penolakan akan asumsi-asumsi ideologis
yang berada di balik tradisi strukturalisme.
Di sisi lain, poststrukturalisme juga disebut sebagai gerakan mengembangkan
strukturalisme lebih jauh sebab strukturalisme dinilai tidak lagi memadahi
dalam memahami realitas pasca modern.
Postrukturalisme dapat disebut sebagai pembacaan kembali realitas dengan kacamata
anti-fondasionalisme yang dikembangkan oleh filsuf-filsuf dalam berbagai bidang
filsafat, misalnya Jacques Lacan, Jacques Derrida, dan Michel Foucault.
Jacques Lacan
secara umum mengkritik pemikiran Ferdinand de Saussure dalam bidang
strukturalis linguistik. Pemikiran strukturalis menyatakan bahwa bahasa
mengatasi segala sistem: sebuah sistem dengan pengaturan yang mengorganisir
bagaimana elemen-elemen bahasa beroperasi.
Lacan mengkritik narasi besar "strukturalisme bahasa" yang menyatakan
bahwa bahasa yang terdiri atas penanda dan petanda bersifat arbiter. Sifat
arbiter dalam bahasa menjadikan manusia hanya menerima saja struktur bahasa
yang ada, sementara bahasa-bahasa "baru" tidak mungkin tercipta. Bagi
Lacan, yang dipengaruhi Freud, bahasa adalah sistem pengungkapan yang tak
pernah mampu secara utuh menggambarkan konsep yang diekspresikan. Artinya,
bahasa tidak melulu merupakan suatu sistem penanda-petanda yang pasti, sebab
terkadang ada reduksi dari makna yang tidak tuntas terkatakan melalui bahasa.
Pemikiran
dekonstruksi dari Jacques Derrida adalah ungkapan paling kuat dari gerakan
poststrukturalisme.
Derrida secara umum menyatakan bahwa bahasa dan juga sistem-sistemnya secara
umum merupakan realitas yang tidak stabil. Keyakinan bahwa bahasa senantiasa
terdiri atas relasi arbiter penanda-petanda adalah tidak memadahi, namun setiap
kata di satu sisi selalu memiliki trace pada kata yang lain. Bagi
Derrida, bahasa dan kata bukanlah realitas final seperti pandangan
strukturalis. Realitas bahasa adalah jaringan teks yang memungkinkan setiap
orang untuk menelusuri jejak-jejak bahasa dan membangkitkan makna-makna baru yang
tidak terduga. Oleh karena itu, Derrida menegaskan bahwa makna adalah suatu
fenomena yang fana, yang menguap sesegera ketika kata diungkapkan, dan bukan
merupakan realitas final yang mampu bertahan dalam waktu lama.
Michel Foucault adalah pemikir
poststrukturalisme (namun kemudian dinilai beyond structuralist) yang
melawan bangunan strukturalis yang memiliki tendensi "membedakan-mengeksklusi"
realitas yang berbeda.
Pada zamannya, Foucault menilai penandaan "ketidaknormalan" yang
disematkan pada orang gila, narapidana, dan homoseksual adalah suatu
marginalisasi. Marginalisasi tersebut terbentuk dalam norma-norma yang
berkembang dalam masyarakat Post-Renaissance. Foucault melihat bahwa sistem
norma yang ada merupakan ungkapan kuasa politik melalui pengembangan wacana.
Wacana yang dikembangkan bertujuan untuk melahirkan suatu pengetahuan dalam
tataran norma sehingga kembali mewujud sebagai "kuasa" yang tidak
terlihat. Foucault menyebut hal ini sebagai authoritarianism yang
merupakan ciri kebudayaan modern.
RELEVANSI: Relativisme
sebagai Dampak
Negatif Filsafat Postmodern
Filsafat postmodern yang berupaya mengkritisi rasionalitas modernisme
telah banyak membawa perubahan terhadap cara pandang filsafat. Cara pandangan tersebut sesuai dengan
gerak zaman yang telah banyak mendapatkan dampak negatif dari modernisme. Akan
tetapi, gerakan filsafat postmodern juga membawa dampak negatif yaitu relativisme.
Relativisme adalah paham yang menilai tidak adanya ukuran-ukuran universal
dalam hal moral, pandangan hidup, pengetahuan, dll. Relativisme menilai bahwa
semua nilai-nilai universal tidak lagi relevan dan harus dikembalikan lagi pada
lokalitas dan ukuran-ukuran pribadi yang menekankan perbedaan.
Salah satu gerakan
postmodern yang membawa paham relativisme adalah filsafat feminis. Filsafat feminis
mengkritik interpretasi teks-teks filsafat Barat yang patriarkal dan mempertanyakan cara pemaknaan filosofis yang
mengucilkan perempuan.
Filsafat feminis juga berupaya mengungkap argumen-argumen dibalik pandangan
filosofis tertentu, misalnya hak kesetaraan gender dan hak-hak perempuan dalam
keluarga. Filsafat feminis kemudian juga mengkritik “narasi-narasi besar” yang
bertumpu pada pandangan-pandangan filosofis yang dinilai oleh mereka
menyudutkan kaum perempuan, salah satunya adalah institusi agama. Salah satu
intitusi agama yang banyak dikritik oleh filsafat feminis adalah Gereja Katolik Roma.
Filsafat feminism secara umum menentang Gereja Katolik
Roma dalam hal pandangan filosofis-teologis hukum kodrat dalam hal pernikahan fungsi orangtua dalam
keluarga.
Akan tetapi, gerakan yang tersebut secara tidak langsung telah
menilai dimensi-dimensi sosio-kultural seperti pernikahan
dan peran orangtua dalam keluarga serta pendidikan dan tanggungjawab terhadap anak-anak menjadi relatif. Di samping itu, gerakan
filsafat feminis yang berujung pada gerakan radikal ini juga bertendensi pada
dikotomi “permusuhan” laki-laki dan perempuan. Pandangan inilah yang kemudian
menjadikan pihak Vatikan tidak senada dengan gerakan yang diserukan
oleh feminis radikal yang berlandaskan pada filsafat feminis. ***
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
GAMBLE, SARAH,
(ed.), Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, (terj.),
Jalasutra, Yogyakarta, 2010
MAKSUM,
ALI, Pengantar Filsafat, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta, 2012
SAMAKUL, Postmodernitas:
Memaknai Masyarakat Plural Abad ke-21, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2012
SIM, STUART (ed.), The Routledge Companion to Postmodernism, Routledge, London, 2001
SUGIHARTO,
BAMBANG, Postmodernisme, Kanisius, Yogyakarta, 1996
Sumber Internet
“Vatican attacks radikal feminism”, diambil dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/3940719.stm (Diakses
pada Selasa, 13 Oktober 2015 pada pukul 18.12 WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar