Halaman

Minggu, 24 April 2016

POSTMODERNISME? APA ITU? (Telaah Filsafati)

https://s-media-cache-ak0.pinimg.com


Istilah "postmodern" adalah istilah yang digunakan bertebaran di mana-mana sehingga memiliki makna yang kabur. Istilah "postmodern" secara sangat kontroversial dalam berbagai bidang, antara lain dalam musik, seni rupa, fiksi, drama, fotografi, arsitektur, karya sastra, antropologi, sosiologi, dan filsafat. Akhirnya "isme" dalam "postmodern" juga menambah kekaburan makna, yaitu merujuk pada kritik-kritik filosofis modern, situasi global dewasa ini, dan kesan seperti pemikiran tunggal. Awalan "post" dalam "postmodernisme" juga menimbulkan perdebatan, misalnya tentang makna "post" yang merujuk pada pemutusan hubungan pemikiran total dari segala pola kemodernan.


           Istilah "postmodern" muncul secara kronologis pertama-tama dalam bidang seni, sosial-ekonomi, kebudayaan, dan filsafat. Fenomena postmodern dalam bidang seni yang muncul pertama kali dalam pemikiran Frederico de Onis (1930). Postmodern dalam bidang seni menunjukkan kecenderungan akan hilangnya batas seni dan keseharian, budaya populer yang tidak "mendalam", sampai pada hilangnya orisinalitas dan kegeniusan. Dalam bidang sosial-ekonomi, "postmodern" ditunjukkan dengan berkembangnya kecenderungan membumbungya kesenangan dan keinginan. Di samping itu, dominasi teknologi reproduksi dalam jaringan global kapitalisme multinasional juga merupakan fenomena "postmodern" dalam bidang kebudayaan.

      Kemunculan terminologi-terminologi "postmodern" pada lintasan sejarah pemikiran menunjukkan fakta bahwa postmodern merupakan realitas aktual kehidupan umat manusia di abad ke-21. Berlandaskan fakta aktual yang dibaca oleh para pemikir dalam bidang seni, sosial-ekonomi, dan kebudayaan, maka postmodern mempunyai beberapa ciri penting: penolakan akan narasi-narasi besar modernitas yang gagal, teknologi informasi yang populer, dan masyarakat konsumeristis.


POSTMODERNISME DALAM KONTEKS FILSAFAT

Istilah "postmodern" juga merambah pada bidang filsafat yang secara khusus dikaitkan dengan paham-paham filosofis yang muncul pasca Perang Dunia II. Jean-Francois Lyotard melalui bukunya "The Postmodern Condition: A Report on Knowledge", yang terbit dalam bahasa Inggris tahun 1984, menandai locus classicus untuk postmodernisme dalam bidang filsafat. Karya tersebut tidak dapat dipisahkan dari latar belakang masyarakat dunia pasca PD II dalam bidang sosial, politik dan budaya.   

Latar Belakang Filsafat Postmodern

            Postmodernisme secara umum adalah usaha untuk mencari kebaruan yang sekaligus penolakan realitas dunia yang dominasi sains dan kapitalisme. Dominasi sains dan kapitalisme telah membawa konsekuensi buruk bagi manusia dalam alam pada umumnya. Pandangan dualistik, seperti subjek (manusia) dan objek (alam), telah mengakibatkan krisis ekologi di mana eksploitasi alam begitu marak. Model relasi subjek-objek ini juga diterapkan pada manusia, dengan menempatkan manusia lain sebagai "mesin". Dalam hidup sosial terjadi pula disorientasi moral-religius yang disebabkan oleh domininasi positivisme. 

            Realitas tersebut di atas kemudian berujung pada materialisme ontologis, yaitu munculnya keinginan untuk mengontrol hal-hal materi secara terus menerus.  Di samping itu, muncul pula konsekuensi negatif yaitu militerisme. Militerisme adalah pemahaman bahwa kekuasaan koersif dinilai sebagai satu-satunya cara mengatur manusia, misalnya dengan persenjataan nuklir. Tribalisme juga muncul sebagai dalam bidang keanekaragaman bangsa dan hidup bersama. Tribalisme adalah mentalitas mengunggulkan suku atau kelompok sendiri. Penghayatan fundamentalisme agama yang merupakan fenomena aktual juga merupakan lahan xyang menyuburkan mentalitas tribalisme.


Persoalan Pokok dalam Filsafat Postmodern: Penolakan pada Modernisme

            Filsafat postmodern merupakan gerakan yang muncul sebagai kritik atas modernism, yang pada abad-20 begitu identik dengan dominasi sains dan kapitalisme. Filsafat postmodern mengkritisi timbulnya dominasi sains dan kaptalisme yang disebabkan oleh cara ilmu pengetahuan dilegitimasi melalui "narasi besar" seperti Kebebasan, Kemajuan, atau juga Emansipasi kaum proletar. Lyotard menyatakan bahwa "narasi besar" yang merupakan produk kebudayaan Barat harus ditolak karena ia telah kehilangan kredibilitasnya dan tinggal seakan-akan menjadi otoritas. Oleh karena itu, filsafat postmodern ditandai dengan upaya tak henti-hentinya mencari kebaruan yang merujuk pada segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya.

            Postmodernisme sebagai suatu gerakan pemikiran-pemikiran filosofis dapat dilihat sebagai bentuk-bentuk skeptisme akan modernisme yang telah menjelma menjadi otoritas, "kebijaksanaan-kebijaksanaan" dogmatis, norma-norma budaya dan politik, dll. Skeptisme tersebut adalah bentuk pemikiran yang menegasi dan menanyakan kembali makna kebenaran dan hal-hal yang menjamin kebenaran tersebut. Bentuk pemikiran ini kemudian dikenal sebagai anti-fondasionalisme, yang berfokus pada kebaruan dasar-dasar dalam diskursus tentang makna kebenaran. Anti-fondasionalisme sebagai ciri filsafat postmodern secara umum berakar dari filsafat Freidrich Nietzsche yang menyerukan "revaluasi semua nilai" untuk merumuskan realitas yang baru.


Poststrukturalisme sebagai Gerakan Besar dalam Filsafat Postmodern   

            Modernisme yang identik dengan "narasi besar" seperti Dialetika Roh atau juga Dialetika Materialisme dinilai oleh para pemikir postmodern telah membentuk gambaran dunia yang strukturalis. Dunia strukturalis adalah dunia dengan paham-paham otoritas tetap, seperti Kebenaran dan Kemajuan, yang di sisi lain secara tidak langsung menilai "liyan"  terhadap realitas-realitas di luar struktur. Anti-fondasionalisme yang merupakan ciri filsafat postmodern menciptakan diskursus dan gerakan yang luas di bawah nama "poststrukturalisme".

            Postsrukturalisme adalah bentuk penolakan terhadap tradisi pemikiran strukturalis.  Poststrukturalisme merupakan gerakan budaya yang meluas dalam berbagai disiplin intelektual dan juga merupakan bentuk penolakan akan  asumsi-asumsi ideologis yang berada di balik tradisi strukturalisme. Di sisi lain, poststrukturalisme juga disebut sebagai gerakan mengembangkan strukturalisme lebih jauh sebab strukturalisme dinilai tidak lagi memadahi dalam memahami realitas pasca modern. Postrukturalisme dapat disebut sebagai pembacaan kembali realitas dengan kacamata anti-fondasionalisme yang dikembangkan oleh filsuf-filsuf dalam berbagai bidang filsafat, misalnya Jacques Lacan, Jacques Derrida, dan Michel Foucault.

           Jacques Lacan secara umum mengkritik pemikiran Ferdinand de Saussure dalam bidang strukturalis linguistik. Pemikiran strukturalis menyatakan bahwa bahasa mengatasi segala sistem: sebuah sistem dengan pengaturan yang mengorganisir bagaimana elemen-elemen bahasa beroperasi. Lacan mengkritik narasi besar "strukturalisme bahasa" yang menyatakan bahwa bahasa yang terdiri atas penanda dan petanda bersifat arbiter. Sifat arbiter dalam bahasa menjadikan manusia hanya menerima saja struktur bahasa yang ada, sementara bahasa-bahasa "baru" tidak mungkin tercipta. Bagi Lacan, yang dipengaruhi Freud, bahasa adalah sistem pengungkapan yang tak pernah mampu secara utuh menggambarkan konsep yang diekspresikan. Artinya, bahasa tidak melulu merupakan suatu sistem penanda-petanda yang pasti, sebab terkadang ada reduksi dari makna yang tidak tuntas terkatakan melalui bahasa.

            Pemikiran dekonstruksi dari Jacques Derrida adalah ungkapan paling kuat dari gerakan poststrukturalisme. Derrida secara umum menyatakan bahwa bahasa dan juga sistem-sistemnya secara umum merupakan realitas yang tidak stabil. Keyakinan bahwa bahasa senantiasa terdiri atas relasi arbiter penanda-petanda adalah tidak memadahi, namun setiap kata di satu sisi selalu memiliki trace pada kata yang lain. Bagi Derrida, bahasa dan kata bukanlah realitas final seperti pandangan strukturalis. Realitas bahasa adalah jaringan teks yang memungkinkan setiap orang untuk menelusuri jejak-jejak bahasa dan membangkitkan makna-makna baru yang tidak terduga. Oleh karena itu, Derrida menegaskan bahwa makna adalah suatu fenomena yang fana, yang menguap sesegera ketika kata diungkapkan, dan bukan merupakan realitas final yang mampu bertahan dalam waktu lama.

Michel Foucault adalah pemikir poststrukturalisme (namun kemudian dinilai beyond structuralist) yang melawan bangunan strukturalis yang memiliki tendensi "membedakan-mengeksklusi" realitas yang berbeda. Pada zamannya, Foucault menilai penandaan "ketidaknormalan" yang disematkan pada orang gila, narapidana, dan homoseksual adalah suatu marginalisasi. Marginalisasi tersebut terbentuk dalam norma-norma yang berkembang dalam masyarakat Post-Renaissance. Foucault melihat bahwa sistem norma yang ada merupakan ungkapan kuasa politik melalui pengembangan wacana. Wacana yang dikembangkan bertujuan untuk melahirkan suatu pengetahuan dalam tataran norma sehingga kembali mewujud sebagai "kuasa" yang tidak terlihat. Foucault menyebut hal ini sebagai authoritarianism yang merupakan ciri kebudayaan modern.

RELEVANSI: Relativisme sebagai Dampak Negatif Filsafat Postmodern

            Filsafat postmodern yang berupaya mengkritisi rasionalitas modernisme telah banyak membawa perubahan terhadap cara pandang filsafat. Cara pandangan tersebut sesuai dengan gerak zaman yang telah banyak mendapatkan dampak negatif dari modernisme. Akan tetapi, gerakan filsafat postmodern juga membawa dampak negatif yaitu relativisme. Relativisme adalah paham yang menilai tidak adanya ukuran-ukuran universal dalam hal moral, pandangan hidup, pengetahuan, dll. Relativisme menilai bahwa semua nilai-nilai universal tidak lagi relevan dan harus dikembalikan lagi pada lokalitas dan ukuran-ukuran pribadi yang menekankan perbedaan.

            Salah satu gerakan postmodern yang membawa paham relativisme adalah filsafat feminis. Filsafat feminis mengkritik interpretasi teks-teks filsafat Barat yang patriarkal dan mempertanyakan cara pemaknaan filosofis yang mengucilkan perempuan. Filsafat feminis juga berupaya mengungkap argumen-argumen dibalik pandangan filosofis tertentu, misalnya hak kesetaraan gender dan hak-hak perempuan dalam keluarga. Filsafat feminis kemudian juga mengkritik “narasi-narasi besar” yang bertumpu pada pandangan-pandangan filosofis yang dinilai oleh mereka menyudutkan kaum perempuan, salah satunya adalah institusi agama. Salah satu intitusi agama yang banyak dikritik oleh filsafat feminis adalah Gereja Katolik Roma.

                Filsafat feminism secara umum menentang Gereja Katolik Roma dalam hal pandangan filosofis-teologis hukum kodrat dalam hal pernikahan fungsi orangtua dalam keluarga. Akan tetapi, gerakan yang tersebut secara tidak langsung telah menilai dimensi-dimensi sosio-kultural seperti pernikahan dan peran orangtua dalam keluarga serta pendidikan dan tanggungjawab terhadap anak-anak menjadi relatif. Di samping itu, gerakan filsafat feminis yang berujung pada gerakan radikal ini juga bertendensi pada dikotomi “permusuhan” laki-laki dan perempuan. Pandangan inilah yang kemudian menjadikan pihak Vatikan tidak senada dengan gerakan yang diserukan oleh feminis radikal yang berlandaskan pada filsafat feminis. ***   





DAFTAR PUSTAKA



Sumber Buku

GAMBLE, SARAH, (ed.), Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, (terj.), Jalasutra, Yogyakarta, 2010

MAKSUM, ALI, Pengantar Filsafat, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta, 2012

SAMAKUL, Postmodernitas: Memaknai Masyarakat Plural Abad ke-21, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2012

SIM, STUART (ed.), The Routledge Companion to Postmodernism, Routledge, London, 2001

SUGIHARTO, BAMBANG, Postmodernisme, Kanisius, Yogyakarta, 1996



Sumber Internet
“Vatican attacks radikal feminism”, diambil dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/3940719.stm (Diakses pada Selasa, 13 Oktober 2015 pada pukul 18.12 WIB)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar