"Cinta
itu indah, Minke, terlalu indah, yang bisa didapatkan dalam hidup manusia yang
pendek ini.”
(Jean
Marais, 55)
Pramoedya Ananta Toer adalah
novelis-sastrawan besar dari bumi Nusantara. Pram, panggilan akrab Pramoedya
Ananta Toer, lahir pada 6 Februari 1925 di Blora, Jawa Tengah. Baginya, menulis
adalah tugas pribadi sekaligus ungkapan berlaksa-laksa cinta pada Ibu Pertiwi.
Dari goresan penanya yang cemerlang, tercatat telah lahir lebih dari 50 karya
sastra dan budaya. Karya-karya tersebut telah diterjemahkan ke dalam lebih dari
42 bahasa asing. Di satu sisi, goresan penanya pulalah yang ‘menyeretnya’
berulang kali menghirup sunyi dan pengapnya udara penjara. Meskipun demikian,
goresan penanya terus melaju, dan senantiasa berbuah penghargaan-penghargaan
manis dari seantero penjuru bumi. Pram adalah satu-satunya putra Indonesia yang
berkali-kali bertengger dalam daftar Kandidat Pemenang Nobel Sastra. Salah satu
goresan pena yang mengharumkan namanya adalah roman Bumi Manusia.
Roman Bumi Manusia adalah buku
pertama dari Tetralogi Bumi Manusia. karya ini adalah rangkaian goresan pena
Pram yang lahir di dalam kamp kerjapaksa tanpa proses hukum pengadilan di Pulau
Buru pada tahun 1970-an. Oleh karena itu, beberapa sumber menyebut karya ini
dengan nama Tetralogi Buru. Tetralogi ini mengetengahkan latarbelakang
masyarakat Indonesia awal abad 20, yaitu masa peletakan benih perjuangan modern
melalui pergerakan, organisasi, dan pendayagunaan pers. Dalam roman Bumi Manusia,
Pram mengajak para pembacanya untuk menyelami periode penyemaian dan
kegelisahan pada abad tersebut. Gambaran ini disuguhkan oleh Pram dalam suatu
roman yang didalamnya terdapat suatu usaha seorang manusia berdarah priyayi,
Minke, untuk keluar dari kejawaannya menuju manusia yang merdeka dan bebas.
Secara umum, Pram ingin menghadirkan warna lain akan realitas di masa itu;
kepribumian, keeropaan, dan cinta.
Dalam roman ini, Pram menggambarkan
Minke sebagai seorang aktor sekaligus kreator. Pada awal cerita, dikisahkan
sekelumit pergolakan Minke atas kepribumiannya. Pergolakan ini ia rasakan di
H.B.S., tempatnya menuntut ilmu, yang didominasi oleh orang non-pribumi. Kisah
hidupnya kemudian menjadi lebih berwarna saat ia bertemu dengan Annelies,
seorang dara keturunan Belanda yang cantik jelita namun begitu rapuh. Kisah
cintanya dengan Annelies kemudian membawa Minke masuk dalam kehidupan keluarga
Nyai Ontosoroh—gundik Tuan Herman Mellema, Ibu Annelies yang begitu ‘hebat’.
Rasa cintanya pada Annelies itulah yang kemudian membuatnya berani mengambil
keputusan: menjadi manusia yang bebas untuk mencintai.
Perubahan sikap Minke tersebut
menjadikan hubungan dengan keluarganya sendiri menjadi kurang harmonis. Namun
di sisi lain, Minke ingin menunjukkan bahwa penindasan yang dilakukan terhadap
pribumi juga dilatabelakangi kungkungan budaya. Ia ingin menunjukkan bahwa jiwa
keeropaannya adalah jalan untuk mencapai kebebasan sebagai seorang pribumi.
Keadaan ini justru menjadikan Minke semakin dekat dengan keluarga Nyai
Ontosoroh dan gadis pujaannya, Annelies. Sebagai seorang yang mahir dalam
menulis, dengan nama pena Max Tollenar, ia kemudian banyak menuangkan
perasaannya dalam tulisan dan menginspirasi banyak orang. Jean Marais, seorang
pelukis eks-tentara Belanda berkebangsaan Prancis, adalah sahabat karib Minke
yang memberikan banyak pelajaran tentang kehidupan kepadanya.
Belajar dari pengalaman hidupnya,
pada akhirnya Minke mengambil sebuah pilihan untuk menikahi Annelies—sebuah
pilihan yang penuh perjuangan; dikeluarkan dari H.B.S., dicibir teman-temannya,
berurusan dengan polisi dan pengadilan, tidak dianggap anak oleh ayahnya, dan
sebagainya. Untunglah, Minke memiliki seorang Bunda yang selalu
mendampinginya—anak yang ndablek! Akan tetapi, jiwa keeropaannya seakan hancur
berkeping-keping karena hukum Eropa yang harus memisahkannya dengan Annelies.
Didikan Eropa yang selama itu telah mengalir di dalam darahnya telah mengambil
cinta dan separuh nafasnya itu. Pengadilan Amsterdam memutuskan bahwa Nyai
Ontosoroh dan Minke, suaminya, tidak memiliki hak atas Annelies. Annelies harus
kembali ke tanah mendiang ayahnya dan hidup bersama ibu tirinya di
Belanda.
Dalam buku ini, Pram menyuguhkan
model cerita yang unik dengan senantiasa menggunakan sudut pandang tokoh utama.
Model penyampaian cerita ini dapat memudahkan pembaca dalam memahami alur
cerita. Pembaca seakan dituntun untuk menyelami sendiri runtutan kisah dari
tokoh utama. Pram juga begitu mahir dalam memadukan roman dengan realitas
masyarakat dalam kisah tersebut. Tidak dapat dipungkiri, kisah dalam bentuk
roman begitu digemari orang secara umum. Melalui perpaduan ini, Pram ingin
menarik intuisi para pembaca sebagai jembatan untuk menyampaikan pesan
tulisannya.
Dalam teknis penulisan, roman ini
dilengkapi dengan catatan kaki untuk menjelaskan istilah-istilah asing yang ada
dalam cerita. Hal ini tentu akan mempermudah para pembaca yang kurang paham
dengan istilah-istilah asing dalam cerita, khususnya istilah-istilah dalam
bahasa Belanda. Penggunaan istilah-istilah asing tersebut juga menjadi
kelebihan roman ini, yaitu mampu menghantarkan pembaca menyelami secara lebih
dekat latar belakang zaman yang diceritakan. Akan tetapi, hal itu dapat dinilai
pula oleh sebagian pembaca sebagai kekurangan roman ini. Hal ini berkaitan pula
dengan masih digunakannya kata-kata ejaan lama, antara lain; matari (matahari),
nation (bangsa), tabik (salam), yang terkadang membingungkan para pembaca yang
belum mengenal sastra Pram.
Terlepas dari sekelumit kekurangan di
tengah banyak keunggulannya, roman ini patut mendapat apresiasi tinggi sebagai
secarik karya anak bangsa yang telah melambungkan Sang Garuda di mata dunia.
Dari banyaknya penghargaan yang diraih Pram atas karya-karyanya, roman ini pun
sangat layak untuk dibaca seluruh elemen masyarakat Indonesia, khususnya bagi
kaum terpelajar yang kerapkali hanya berujar kata-kata cinta yang manis untuk
Indonesia. Membaca roman karya Pram ini adalah bukti cinta yang nyata pada
sastra, budaya, dan sejarah Bumi Kathulistiwa ini. Karya ini juga membuahkan
saran kritis bagi sastrawan Indonesia dewasa ini, yaitu untuk kembali menyelami
keindonesiaan di zaman edan ini. Roman ini seakan menjadi seruan lirih di
kejauhan untuk membuat Ibu Pertiwi tersenyum kembali karena tangan-tangan
tangkas nan kreatif anak bangsa.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar