Halaman

Jumat, 15 November 2013

Manusia yang Bebas Untuk (Mencintai Antara Kepribumian, Keeropaan, dan Cinta)

"Cinta itu indah, Minke, terlalu indah, yang bisa didapatkan dalam hidup manusia yang pendek ini.” 
(Jean Marais, 55)

Pramoedya Ananta Toer adalah novelis-sastrawan besar dari bumi Nusantara. Pram, panggilan akrab Pramoedya Ananta Toer, lahir pada 6 Februari 1925 di Blora, Jawa Tengah. Baginya, menulis adalah tugas pribadi sekaligus ungkapan berlaksa-laksa cinta pada Ibu Pertiwi. Dari goresan penanya yang cemerlang, tercatat telah lahir lebih dari 50 karya sastra dan budaya. Karya-karya tersebut telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing. Di satu sisi, goresan penanya pulalah yang ‘menyeretnya’ berulang kali menghirup sunyi dan pengapnya udara penjara. Meskipun demikian, goresan penanya terus melaju, dan senantiasa berbuah penghargaan-penghargaan manis dari seantero penjuru bumi. Pram adalah satu-satunya putra Indonesia yang berkali-kali bertengger dalam daftar Kandidat Pemenang Nobel Sastra. Salah satu goresan pena yang mengharumkan namanya adalah roman Bumi Manusia. 

Roman Bumi Manusia adalah buku pertama dari Tetralogi Bumi Manusia. karya ini adalah rangkaian goresan pena Pram yang lahir di dalam kamp kerjapaksa tanpa proses hukum pengadilan di Pulau Buru pada tahun 1970-an. Oleh karena itu, beberapa sumber menyebut karya ini dengan nama Tetralogi Buru. Tetralogi ini mengetengahkan latarbelakang masyarakat Indonesia awal abad 20, yaitu masa peletakan benih perjuangan modern melalui pergerakan, organisasi, dan pendayagunaan pers. Dalam roman Bumi Manusia, Pram mengajak para pembacanya untuk menyelami periode penyemaian dan kegelisahan pada abad tersebut. Gambaran ini disuguhkan oleh Pram dalam suatu roman yang didalamnya terdapat suatu usaha seorang manusia berdarah priyayi, Minke, untuk keluar dari kejawaannya menuju manusia yang merdeka dan bebas. Secara umum, Pram ingin menghadirkan warna lain akan realitas di masa itu; kepribumian, keeropaan, dan cinta.

Dalam roman ini, Pram menggambarkan Minke sebagai seorang aktor sekaligus kreator. Pada awal cerita, dikisahkan sekelumit pergolakan Minke atas kepribumiannya. Pergolakan ini ia rasakan di H.B.S., tempatnya menuntut ilmu, yang didominasi oleh orang non-pribumi. Kisah hidupnya kemudian menjadi lebih berwarna saat ia bertemu dengan Annelies, seorang dara keturunan Belanda yang cantik jelita namun begitu rapuh. Kisah cintanya dengan Annelies kemudian membawa Minke masuk dalam kehidupan keluarga Nyai Ontosoroh—gundik Tuan Herman Mellema, Ibu Annelies yang begitu ‘hebat’. Rasa cintanya pada Annelies itulah yang kemudian membuatnya berani mengambil keputusan: menjadi manusia yang bebas untuk mencintai.

Perubahan sikap Minke tersebut menjadikan hubungan dengan keluarganya sendiri menjadi kurang harmonis. Namun di sisi lain, Minke ingin menunjukkan bahwa penindasan yang dilakukan terhadap pribumi juga dilatabelakangi kungkungan budaya. Ia ingin menunjukkan bahwa jiwa keeropaannya adalah jalan untuk mencapai kebebasan sebagai seorang pribumi. Keadaan ini justru menjadikan Minke semakin dekat dengan keluarga Nyai Ontosoroh dan gadis pujaannya, Annelies. Sebagai seorang yang mahir dalam menulis, dengan nama pena Max Tollenar, ia kemudian banyak menuangkan perasaannya dalam tulisan dan menginspirasi banyak orang. Jean Marais, seorang pelukis eks-tentara Belanda berkebangsaan Prancis, adalah sahabat karib Minke yang memberikan banyak pelajaran tentang kehidupan kepadanya.

Belajar dari pengalaman hidupnya, pada akhirnya Minke mengambil sebuah pilihan untuk menikahi Annelies—sebuah pilihan yang penuh perjuangan; dikeluarkan dari H.B.S., dicibir teman-temannya, berurusan dengan polisi dan pengadilan, tidak dianggap anak oleh ayahnya, dan sebagainya. Untunglah, Minke memiliki seorang Bunda yang selalu mendampinginya—anak yang ndablek! Akan tetapi, jiwa keeropaannya seakan hancur berkeping-keping karena hukum Eropa yang harus memisahkannya dengan Annelies. Didikan Eropa yang selama itu telah mengalir di dalam darahnya telah mengambil cinta dan separuh nafasnya itu. Pengadilan Amsterdam memutuskan bahwa Nyai Ontosoroh dan Minke, suaminya, tidak memiliki hak atas Annelies. Annelies harus kembali ke tanah mendiang ayahnya dan hidup bersama ibu tirinya di Belanda. 

Dalam buku ini, Pram menyuguhkan model cerita yang unik dengan senantiasa menggunakan sudut pandang tokoh utama. Model penyampaian cerita ini dapat memudahkan pembaca dalam memahami alur cerita. Pembaca seakan dituntun untuk menyelami sendiri runtutan kisah dari tokoh utama. Pram juga begitu mahir dalam memadukan roman dengan realitas masyarakat dalam kisah tersebut. Tidak dapat dipungkiri, kisah dalam bentuk roman begitu digemari orang secara umum. Melalui perpaduan ini, Pram ingin menarik intuisi para pembaca sebagai jembatan untuk menyampaikan pesan tulisannya.

Dalam teknis penulisan, roman ini dilengkapi dengan catatan kaki untuk menjelaskan istilah-istilah asing yang ada dalam cerita. Hal ini tentu akan mempermudah para pembaca yang kurang paham dengan istilah-istilah asing dalam cerita, khususnya istilah-istilah dalam bahasa Belanda. Penggunaan istilah-istilah asing tersebut juga menjadi kelebihan roman ini, yaitu mampu menghantarkan pembaca menyelami secara lebih dekat latar belakang zaman yang diceritakan. Akan tetapi, hal itu dapat dinilai pula oleh sebagian pembaca sebagai kekurangan roman ini. Hal ini berkaitan pula dengan masih digunakannya kata-kata ejaan lama, antara lain; matari (matahari), nation (bangsa), tabik (salam), yang terkadang membingungkan para pembaca yang belum mengenal sastra Pram.

Terlepas dari sekelumit kekurangan di tengah banyak keunggulannya, roman ini patut mendapat apresiasi tinggi sebagai secarik karya anak bangsa yang telah melambungkan Sang Garuda di mata dunia. Dari banyaknya penghargaan yang diraih Pram atas karya-karyanya, roman ini pun sangat layak untuk dibaca seluruh elemen masyarakat Indonesia, khususnya bagi kaum terpelajar yang kerapkali hanya berujar kata-kata cinta yang manis untuk Indonesia. Membaca roman karya Pram ini adalah bukti cinta yang nyata pada sastra, budaya, dan sejarah Bumi Kathulistiwa ini. Karya ini juga membuahkan saran kritis bagi sastrawan Indonesia dewasa ini, yaitu untuk kembali menyelami keindonesiaan di zaman edan ini. Roman ini seakan menjadi seruan lirih di kejauhan untuk membuat Ibu Pertiwi tersenyum kembali karena tangan-tangan tangkas nan kreatif anak bangsa. 
* * *


Tidak ada komentar:

Posting Komentar