Warna yang akan sesalu terkenang... |
Pada suatu masa, di suatu negeri yang amat jauh, tinggallah sepasang insan yang menjalin suatu rajutan kisah yang indah, yang banyak orang katakan itu cinta. Agar mudah, sebut saja mereka Dewa dan Dewi. Bila ditengok lagi, perjumpaan mereka terbilang unik. Satu hal yang dapat dituliskan untuk perjumpaan dan kisah mereka: bukan sekedar kebetulan semata namun adalah rencana maha agung Sang Ada. Dan satu hal lain yang mampu menggambarkan rasa-rasa dibalik hati mereka masing-masing: indah.
(Semuanya, telah diukir seperti apa adanya)
Waktu terus bergulir, dan suka mengiringi setiap jengkal kisah mereka, hingga sampailah mereka pada hari itu.
Hari itu, nampaknya mereka harus dirundung awan gelap perpisahan. Ya…, Dewa harus kembali untuk menjalani satu sisi kehidupannya di tempat yang cukup jauh dari Dewi. Dan semuanya memang harus dijalani. Pada saat perpisahan, Dewa menyadarkan pada Dewi bila perpisahan tersebut hanya sementara saja, walau memang akan terasa begitu lama. Duka menyelimuti detik-detik terakhir. Oleh karena keadaan ini, Dewa menghendaki agar Dewi hidup bahagia selalu, dan bukan justru menjadikan kisah yang terpenggal ini menjadi beban di hati. Dewa pun menyadari, bahwa di waktu kepergiaanya, mungkin saja hati Dewi telah tertambat oleh orang lain. Bila itu memang dapat menjadikan Dewi bahagia, Dewa pun tidak egoistis, Dewa akan mencoba menerima kebahagiaan itu dengan hati yang bahagia pula. Namun Dewa percaya pada Dewa, bahwa semuanya akan baik-baik saja. Mereka hanya diam, menunggu saat-saat perpisahan itu tiba. Karena, tiada lukisan yang indah yang mampu melukiskannya, tiada puisi cantik yang mampu menggoreskan dalamnya waktu itu….
Demikiannlah mereka berpisah, untuk sementara saja. Dewa berangkat untuk menjalani satu sisi kehidupannya yang lain dengan penuh semangat. Meski ia tak memungkiri, bila bayangan Dewi terkadang menggelayut di pikirannya, namun ia menjadikan semua itu sebagai pemantik semangatnya. Dewa juga mencoba untuk tidak banyak menghubungi Dewi. Ia berharap, agar Dewi tidak merasa seakan terpasung oleh perasaannya, namun justru selalu semangat dan bahagia di sana.
Waktu terus berlalu….
Akhirnya, tibalah waktunya Dewa untuk kembali. Dewa senang. Namun perasaan cemas timbul, apakah semuanya masih seperti yang ia harapkan dulu? Ia takut, bila saat ia menemui Dewi, ia justru akan mengganggu kebahagiaannya yang telah ditambat oleh orang lain. Lama berpikir, akhirnya ia menulis sepucuk surat. Dalam suratnya, ia menulis bahwa ia akan kembali. Tetapi, semua tergantung pada Dewi, apakah hatinya “masih ada” atau telah berada di “hati yang lain”. Tentunya, Dewa akan kembali bila hati Dewi “masih ada”. Sebaliknya, berarti harapan Dewa cukup sampai di situ. Dan Dewa pun mengerti.
Dalam surat itu, Dewa meminta tanda untuknya. Ia meminta agar Dewi mengikat sehelai pita ungu di salah satu dahan pohon cemara yang berada di sebuah taman, di mana mereka sering berjumpa dulu, apabila masih ada “hati” Dewi untuk Dewa. Bila tidak, Dewi tidak perlu membuat tanda apapun. Dewa akan berjalan pergi, dan tidak akan mengganggu kebahagiaan Dewi.
Pada hari yang direncanakan, Dewa pulang dan mengunjungi taman yang ia maksudkan. Dari kejauhan, tampak pohon cemara yang ia tulis dalam suratnya kepada Dewi. Ia mendekat, rasanya ia tak sanggup menengadah. Apakah ada sehelai pita ungu terikat di salah satu dahan pohon cemara itu? Apakah sama sekali tidak ada pita ungu terikat?
Ia menarik nafas dalam-dalam, mengumpulkan segala kekuatannya, mengangkat kepalanya dan menatap lurus-lurus ke pohon cemara itu! Apa yang dilihatnya?
Ia hampir tidak percaya! Ia bukan hanya melihat sehelai pita ungu, tetapi ratusan pita ungu yang terikat hampir pada setiap dahan pohon cemara itu (/vdva).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar