Halaman

Jumat, 20 April 2012

TARUH AKU-SAMPAH-PADA TEMPATKU

 (sebuah refleksi tentang alam dan manusia)

“Alam mendahului manusia dan akan berakhir sesudah manusia.
Alam lebih kompleks dan lebih saling berhubungan daripada yang kita sadari.
Alam bergerak dalam siklus yang pasti dan kita menyela siklus itu
dengan kebodohan yang membahayakan kita sendiri”
                                                           
-Noreen Monroe Guzie dan Tad Guzie-
           
            Sejak manusia mengenal peradaban, jutaan tahun yang lalu, manusia selalu berusaha untuk memajukan kualitas hidupnya. Manusia-zoon politicon-tidak akan mampu merengkuh kehidupan yang berkualitas tanpa bersosialisasi dengan manusia lain. Dari proses tersebut, terciptalah kebudayaan.
            Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya menghasilkan teknologi dan kebudayaan jasmaniah (material culture), rasa mewujudkan segenap kaidah dan nilai sosial, sedangkan cipta menelurkan ilmu pengetahuan, dan semuanya diperlukan manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat (Soekanto, 2006:151).
            Pada kenyataannya kegiatan manusia di dunia ini, dalam memanfaatkan sumber daya alam, di samping membawakan beberapa kemajuan di bidang kehidupan, ternyata juga membawa akibat yang tidak diharapkan, misalnya pencemaran lingkungan (Susilo, 2003:129-130).

            Keadaan pencemaran di Indonesia mendedahkan situasi yang rawan. Kita ambil contoh pencemaran yang diakibatkan oleh sampah rumah tangga di kota Jakarta. Dari data Unilever Peduli yang dirilis oleh www.akuinginhijau.org, data terakhir Dinas Kebersihan Jakarta, menunjukkan jumlah sampah Jakarta sampai saat ini kurang lebih mencapai 27.966 m3 perhari. Dari data tersebut, dapat dikatakan bahwa penduduk DKI Jakarta mampu membangun sebuah Candi Borobudur setiap 2 hari dari tumpukan sampah. Dalam buku “Memanen Sampah”, Basriyanta mengungkapkan bahwa sampah yang dikelola dengan benar persentasinya masih sangat kecil; sebanyak 60-70% masih dibuang begitu saja (baca: disposal).
            Kondisi tersebut menyebabkan disfungsi dalam berbagai bidang kehidupan. Secara sosial-ekonomi, www.mediaindonesia.com menuliskan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menghabiskan dana APBD senilai Rp 556,5 juta per hari untuk menanggulangi sampah. Dari perspektif ekologi, keberadaan sampah akan mengurangi daya dukung lingkungan, yang kemudian berefek domino terhadap banyak bidang kehidupan masyarakat.
            Dari sekian banyak pendapat, analisis, dan teori tentang pencemaran lingkungan oleh sampah, terdapat satu analisis yang kiranya relevan dengan kondisi masyarakat saat ini, yaitu rendahnya tingkat kesadaran individu dalam masyarakat terhadap ekologi. Meningkatnya jumlah sampah tidak diimbangi oleh meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengusahakan lingkungan bersih dan sehat (Basriyanta, 2007:12).  Dari situlah, muncul tindakan lalai, menciderai, bahkan merusak ekologi. Maka, benarlah yang dikatakan Noreen Monroe Guzie dan Tad Guzie dalam pembukaan tulisan ini, bahwa alam bergerak dalam siklus yang pasti dan kita menyela siklus itu dengan kebodohan yang membahayakan kita sendiri (Guzie, 2004:18).

TAK LUPUT DARI PUSARAN JAMAN
“Seminari sebagai sekolah calon imam-kader Gereja
yang berkesadaran global dan peka terhadap situasi lokal”

-Visi Seminari Menengah St. Vincentius A Paulo, Garum-
Seminari Menengah St. Vincentius A Paulo Garum merupakan tempat pembinaan calon imam-kader Gereja. Sesuai dengan visinya, misi Seminari Garum menekankan dalam hal “....membentuk karakter dan kompetensi siswa, yang unggul dalam mutu pendidikan nilai....” Oleh sebab itu, semua fokus pembinaan untuk mencapai visi, selalu berpedoman pada misi tersebut.
            Satu hal yang tidak dapat diabaikan, bahwa seminaris juga merupakan remaja pada umumnya, yang juga termasuk dalam “anak zaman”. Predikat “anak zaman” membawa serangkaian hal yang terkait pula dengan kehidupan masyarakat umum, layaknya masalah sosial-ekologis, yaitu sampah.
            Kegiatan konsumsi yang dilakukan seminaris tentu akan menghasilkan bahan sampingan berupa sampah. Sampah dari kegiatan konsumsi seminaris umumnya berupa  plastik, kertas dan organik. Mari kita berhitung: apabila setiap seminaris mengkonsumsi 2 cibus yang dikemas dengan plastik setiap hari, maka terdapat 204 buah sampah plastik setiap hari (102 x 2). Kemudian, jika setiap seminaris rata-rata mengkonsumsi 4 lembar kertas per hari, maka terdapat 408 (102 x 4) buah sampah kertas setiap hari. Disamping itu, bila setiap seminaris mengkonsumsi satu buah (misal: pisang) setiap makan siang, maka terdapat 102 (102 x 1) sampah kulit pisang setiap hari. Apabila dikalkulasikan, terdapat 612 buah sampah anorganik (baca: kertas dan plastik) dan 102 buah sampah organik (baca: kulit buah), yang merupakan hasil sampingan dari kegiatan konsumsi seminaris setiap hari.
            Dari kondisi diatas, untuk menjaga kebersihan lingkungan seminari, pihak seminari telah berupaya untuk menyediakan tempat sampah, yang terdiri atas tempat sampah plastik, kertas, dan organik. Selanjutnya, telah dilakukan pula kegiatan daur ulang dan pembuatan kompos yang diupayakan langsung oleh seminaris.
            Akan tetapi, sampah masih menjadi masalah yang cukup serius di Seminari Garum. Hal ini diindikasikan oleh peristiwa seperti tersumbatnya saluran air oleh sampah pada musim hujan, sampah yang berserakan di RT dan kelas, wilayah pengairan seminaris yang kumuh, dan juga kurang lancarnya program daur ulang sampah plastik dan kertas.
            Dari fakta tersebut, ditemukan bahwa kesadaran seminaris akan lingkungan seminari masih rendah. Hal ini berpengaruh pada pola hidup seminaris, khususnya dalam hal sampah. Secara nyata, rendahnya kesadaran tersebut tercermin ketika seminaris tidak mau membuang sampah sesuai tempatnya. Sebuah hal kecil yang ironi. Agaknya, dibutuhkan solusi mendasar dalam hal ini.


OUR DUTIES
            Penumbuhan sikap moral lingkungan hidup adalah kebutuhan urgen saat ini. Moral lingkungan hidup pada dasarnya bdrmula dari kesadaran hakiki manusia dalam menghadapi keadaan hidup lingkungannya. Kesadaran ini mendorong manusia untuk membentuk sistem pemikiran ekologis dalam bersikap dan bertindak secara bertanggung jawab (Chang, 2001:31-32).
            Tidak dapat dipungkiri bahwa penyelamatan lingkungan adalah tugas manusia, seperti yang diungkapkan Susilo (2003) berikut ini:
“Dengan tegas manusia diminta untuk merawat, memelihara dan melindungi tata lingkungan sesuai dengan kedudukannya di dalam karya penciptaan Allah. Segala kegiatan konstruktif manusia itu pada hakikatnya merupakan partisipasi dalam karya kreatif Allah. Manusia bukan hanya sebagai alat, tetapi merupakan living extension dari karya kreatif Allah. Maka perbuatan manusia harus didasarkan kepada ide penciptaan Allah. Kemampuan manusia yang tinggi pada dasarnya peranan Allah pada diri manusia. Dengan demikian kemampuan yang tinggi tersebut harus diimbangi dengan perhatian manusia kepada ciptaan lain yang bukan manusia untuk menjaga keseimbangan ekologis.”       

Dalam konteks pendidikan calon imam di Seminari Garum, penumbuhan rasa sadar pada lingkungan dapat dimulai dari bidang kepribadian dan kerohanian seminaris. Bidang kepribadian (pembinaan manusiawi dan kematangan afektif) dan bidang kerohanian mengajak calon imam untuk semakin menyadari kedalaman personalitas manusia, karena dua hal tersebut menyangkut kemampuan mengenal pribadi, pola hidup, relasi sosial, orientasi pribadi, serta intimitas iman akan Kristus yang mendasari seluruh gerak hidup (Joko, A.P. Dwi, 2008:71).
            Pertama, seminaris perlu mengatur pola hidup yang berkaitan dengan konsumsi yang dapat menghasilkan sampah. Misalkan, seminaris membawa tas pribadi ketika berbelanja, atau memilih barang belanjaan yang tidak berpotensi “menyampah”. Dengan itu, diharapkan mampu meminimalisir sampah yang masuk ke seminari.
            Kedua, seminaris perlu mengembangkan perspektif “taruh sampah pada tempatnya”, bukan “buang”. Menganggap sampah pada sebagai barang bernilai akan merubah paradigma seminaris tentang sampah. Dengan demikian, seminaris diharap mampu untuk lebih peduli lingkungan dengan menaruh sampah pada tempatnya.
            Ketiga, upaya daur ulang perlu lebih digiatkan. Mengubah sampah menjadi bentuk yang lebih bernilai adalah suatu sikap yang bijak. Selain itu, daya inovatif dan kreatif juga akan terasah melalui media ini.
            Keempat, perlu adanya saling mengingatkan dan menyadarkan antar seminaris tentang kebersihan lingkungan. Diharapkan, rasa sadar pada lingkungan mulai tumbuh dalam hati setiap seminaris dan akhirnya mampu mengajak seminaris untuk turut serta dalam usaha menciptakan lingkungan Seminari Garum yang “BERSINAR”, BERsih-Sehat-Indah-Nyaman-Aman-Rapi.

SEJENAK BIJAK BERSAMA ALAM
            Seperti yang terlukis dalam kisah penciptaan, bahwa pada mulanya Allah menjadikan alam semesta sungguh amat baik, “Maka Allah melihat segala yang dijadikannya itu, sungguh amat baik”, (Kejadian 1:31). Selanjutnya, manusia diberi kepercayaan untuk mengusahakan alam semesta, seperti yang tertulis dalam Kejadian 2:15, “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkan dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu”. Maka, jelas, bahwa manusia–termasuk saya- adalah partner Allah dalam menjaga alam dalam fitrahnya yang baik.
            Berguru dari hal “menaruh sampah pada tempatnya”, mengingatkan saya untuk berusaha menjaga kebersihan lingkungan dengan mengawalinya dari hal-hal yang partial. Dengan memperhatikan hal-hal kecil inilah, saya belajar untuk semakin menumbuhkan rasa tanggung jawab yang radikal akan lingkungan. Kemudian, saya dapat meminta partisipasi teman-teman, dan bersama-sama melakukan aksi nyata yang lebih besar. Hal tersebut serupa dengan yang diajarkan Yesus dalam Injil Lukas 15:10, “Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar….”.
            Karena dengan setia menjaga lingkungan dari hal-hal yang kecil, saya pun telah berusaha untuk membuat diri saya manjadi mampu melakukan hal yang lebih besar di kemudian hari, seperti yang diajarkan oleh Yesus Kristus: “….engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar”, (Matius 25:23). Dan saya pun telah berjuang demi kemuliaan Allah yang lebih besar, Ad Maiorem Dei Gloriam.


KEPUSTAKAAN
Basriyanta. 2007. Memanen Sampah. Yogyakarta: Kanisius

Chang, William. 2001. Moral Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius

Guize, Noreen Monroe & Tad Guize. 2004. Liku-liku Menuju Kesadaran Diri. Jakarta:         OBOR

Http://www.akuinginhijau.org/2008/03/06/fakta-sampah-jakarta-membangun-candi-     borobudur-setiap-2-hari, (Online), diakses pada 6 September 2010, pukul 20.06   WIB

Http://www.mediaindonesia.com/read/2010/07/01/152877/36/5/Rp5665-Juta-Per-Hari-          untuk-Biaya-Sampah-Jakarta, (Online), diakses pada 6 September 2010, pukul         20.16 WIB
Joko, A.P. Dwi. 2008. “Pengembangan Dimensi Manusiawi dalam Pembinaan Calon    Imam” dalam Melepaskan Panah Melukis Pelangi. (G. Tri Wardoyo, CM & I. L.           Parsudi, editor). Jakarta: PT Elex Media Komputindo

Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi suatu pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Susilo, Y. Eko Budi. 2003. Menuju Keselarasan Lingkungan. Malang: Averroes Press

Wardhana, Wisnu Arya. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: ANDI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar