(sebuah refleksi tentang alam dan manusia)
Oleh: Ferdian Dwi Prastiyo
Terkadang kita (manusia) yang keliru memperlakukannya (alam). |
“Alam mendahului
manusia dan akan berakhir sesudah manusia.
Alam lebih
kompleks dan lebih saling berhubungan daripada yang kita sadari.
Alam bergerak
dalam siklus yang pasti dan kita menyela siklus itu
dengan kebodohan
yang membahayakan kita sendiri”
-Noreen
Monroe Guzie dan Tad Guzie-
Sejak manusia mengenal peradaban,
jutaan tahun yang lalu, manusia selalu berusaha untuk memajukan kualitas
hidupnya. Manusia-zoon politicon-tidak akan mampu merengkuh kehidupan
yang berkualitas tanpa bersosialisasi dengan manusia lain. Dari proses
tersebut, terciptalah kebudayaan.
Selo Soemardjan dan Soelaeman
Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta
masyarakat. Karya menghasilkan teknologi dan kebudayaan jasmaniah (material
culture), rasa mewujudkan segenap kaidah dan nilai sosial, sedangkan cipta
menelurkan ilmu pengetahuan, dan semuanya diperlukan manusia untuk menguasai
alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan
masyarakat (Soekanto, 2006:151).
Pada kenyataannya kegiatan manusia
di dunia ini, dalam memanfaatkan sumber daya alam, di samping membawakan
beberapa kemajuan di bidang kehidupan, ternyata juga membawa akibat yang tidak
diharapkan, misalnya pencemaran lingkungan (Susilo, 2003:129-130).
Keadaan pencemaran di Indonesia
mendedahkan situasi yang rawan. Kita ambil contoh pencemaran yang diakibatkan
oleh sampah rumah tangga di kota Jakarta. Dari data
Unilever Peduli yang dirilis oleh www.akuinginhijau.org, data terakhir
Dinas Kebersihan Jakarta, menunjukkan jumlah sampah Jakarta sampai saat ini
kurang lebih mencapai 27.966 m3 perhari. Dari data tersebut, dapat
dikatakan bahwa penduduk DKI Jakarta mampu membangun sebuah Candi Borobudur
setiap 2 hari dari tumpukan sampah. Dalam buku “Memanen Sampah”, Basriyanta
mengungkapkan bahwa sampah yang dikelola dengan benar persentasinya masih
sangat kecil; sebanyak 60-70% masih dibuang begitu saja (baca: disposal).
Kondisi tersebut menyebabkan
disfungsi dalam berbagai bidang kehidupan. Secara sosial-ekonomi, www.mediaindonesia.com
menuliskan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menghabiskan dana APBD
senilai Rp 556,5 juta per hari untuk menanggulangi sampah. Dari perspektif
ekologi, keberadaan sampah akan mengurangi daya dukung lingkungan, yang
kemudian berefek domino terhadap banyak bidang kehidupan masyarakat.
Dari sekian banyak pendapat,
analisis, dan teori tentang pencemaran lingkungan oleh sampah, terdapat satu
analisis yang kiranya relevan dengan kondisi masyarakat saat ini, yaitu
rendahnya tingkat kesadaran individu dalam masyarakat terhadap ekologi.
Meningkatnya jumlah sampah tidak diimbangi oleh meningkatnya kesadaran
masyarakat untuk mengusahakan lingkungan bersih dan sehat (Basriyanta,
2007:12). Dari situlah, muncul tindakan
lalai, menciderai, bahkan merusak ekologi. Maka, benarlah yang dikatakan Noreen
Monroe Guzie dan Tad Guzie dalam pembukaan tulisan ini, bahwa alam bergerak
dalam siklus yang pasti dan kita menyela siklus itu dengan kebodohan yang
membahayakan kita sendiri (Guzie, 2004:18).
TAK LUPUT
DARI PUSARAN JAMAN
“Seminari sebagai
sekolah calon imam-kader Gereja
yang berkesadaran
global dan peka terhadap situasi lokal”
-Visi
Seminari Menengah St. Vincentius A Paulo, Garum-
Seminari Menengah St. Vincentius A Paulo Garum merupakan tempat pembinaan
calon imam-kader Gereja. Sesuai dengan visinya, misi Seminari Garum menekankan
dalam hal “....membentuk karakter dan kompetensi siswa, yang unggul dalam
mutu pendidikan nilai....” Oleh sebab itu, semua fokus pembinaan untuk
mencapai visi, selalu berpedoman pada misi tersebut.
Satu hal yang tidak dapat diabaikan,
bahwa seminaris juga merupakan remaja pada umumnya, yang juga termasuk dalam
“anak zaman”. Predikat “anak zaman” membawa serangkaian hal yang terkait pula
dengan kehidupan masyarakat umum, layaknya masalah sosial-ekologis, yaitu
sampah.
Kegiatan konsumsi yang dilakukan
seminaris tentu akan menghasilkan bahan sampingan berupa sampah. Sampah dari
kegiatan konsumsi seminaris umumnya berupa
plastik, kertas dan organik. Mari kita berhitung: apabila setiap
seminaris mengkonsumsi 2 cibus yang dikemas dengan plastik setiap hari,
maka terdapat 204 buah sampah plastik setiap hari (102 x 2). Kemudian, jika
setiap seminaris rata-rata mengkonsumsi 4 lembar kertas per hari, maka terdapat
408 (102 x 4) buah sampah kertas setiap hari. Disamping itu, bila setiap
seminaris mengkonsumsi satu buah (misal: pisang) setiap makan siang, maka
terdapat 102 (102 x 1) sampah kulit pisang setiap hari. Apabila dikalkulasikan,
terdapat 612 buah sampah anorganik (baca: kertas dan plastik) dan 102 buah
sampah organik (baca: kulit buah), yang merupakan hasil sampingan dari kegiatan
konsumsi seminaris setiap hari.
Dari kondisi diatas, untuk menjaga kebersihan lingkungan
seminari, pihak seminari telah berupaya untuk menyediakan tempat sampah,
yang terdiri atas tempat sampah plastik, kertas, dan organik. Selanjutnya,
telah dilakukan pula kegiatan daur ulang dan pembuatan kompos yang diupayakan
langsung oleh seminaris.
Akan tetapi, sampah masih menjadi
masalah yang cukup serius di Seminari Garum. Hal ini diindikasikan oleh
peristiwa seperti tersumbatnya saluran air oleh sampah pada musim hujan, sampah
yang berserakan di RT dan kelas, wilayah pengairan seminaris yang kumuh, dan
juga kurang lancarnya program daur ulang sampah plastik dan kertas.
Dari fakta tersebut, ditemukan bahwa
kesadaran seminaris akan lingkungan seminari masih rendah. Hal ini berpengaruh
pada pola hidup seminaris, khususnya dalam hal sampah. Secara nyata, rendahnya
kesadaran tersebut tercermin ketika seminaris tidak mau membuang sampah sesuai
tempatnya. Sebuah hal kecil yang ironi. Agaknya, dibutuhkan solusi mendasar
dalam hal ini.
OUR DUTIES
Penumbuhan sikap moral
lingkungan hidup adalah kebutuhan urgen saat ini. Moral lingkungan hidup pada
dasarnya bdrmula dari kesadaran hakiki manusia dalam menghadapi keadaan hidup
lingkungannya. Kesadaran ini mendorong manusia untuk membentuk sistem pemikiran
ekologis dalam bersikap dan bertindak secara bertanggung jawab (Chang,
2001:31-32).
Tidak dapat dipungkiri bahwa
penyelamatan lingkungan adalah tugas manusia, seperti yang diungkapkan Susilo
(2003) berikut ini:
“Dengan tegas manusia diminta untuk merawat,
memelihara dan melindungi tata lingkungan sesuai dengan kedudukannya di dalam
karya penciptaan Allah. Segala kegiatan konstruktif manusia itu pada hakikatnya
merupakan partisipasi dalam karya kreatif Allah. Manusia bukan hanya sebagai
alat, tetapi merupakan living extension dari karya kreatif Allah. Maka
perbuatan manusia harus didasarkan kepada ide penciptaan Allah. Kemampuan
manusia yang tinggi pada dasarnya peranan Allah pada diri manusia. Dengan
demikian kemampuan yang tinggi tersebut harus diimbangi dengan perhatian
manusia kepada ciptaan lain yang bukan manusia untuk menjaga keseimbangan
ekologis.”
Dalam konteks
pendidikan calon imam di Seminari Garum, penumbuhan rasa sadar pada lingkungan
dapat dimulai dari bidang kepribadian dan kerohanian seminaris. Bidang
kepribadian (pembinaan manusiawi dan kematangan afektif) dan bidang kerohanian
mengajak calon imam untuk semakin menyadari kedalaman personalitas manusia,
karena dua hal tersebut menyangkut kemampuan mengenal pribadi, pola hidup,
relasi sosial, orientasi pribadi, serta intimitas iman akan Kristus yang
mendasari seluruh gerak hidup (Joko, A.P. Dwi, 2008:71).
Pertama, seminaris perlu mengatur pola hidup yang
berkaitan dengan konsumsi yang dapat menghasilkan sampah. Misalkan, seminaris
membawa tas pribadi ketika berbelanja, atau memilih barang belanjaan yang tidak
berpotensi “menyampah”. Dengan itu, diharapkan mampu meminimalisir sampah yang
masuk ke seminari.
Kedua, seminaris perlu mengembangkan perspektif “taruh sampah pada tempatnya”, bukan
“buang”. Menganggap sampah pada sebagai barang bernilai akan merubah paradigma
seminaris tentang sampah. Dengan demikian, seminaris diharap mampu untuk lebih
peduli lingkungan dengan menaruh sampah pada tempatnya.
Ketiga, upaya daur ulang perlu lebih digiatkan. Mengubah
sampah menjadi bentuk yang lebih bernilai adalah suatu sikap yang bijak. Selain
itu, daya inovatif dan kreatif juga akan terasah melalui media ini.
Keempat, perlu adanya saling mengingatkan dan menyadarkan
antar seminaris tentang kebersihan lingkungan. Diharapkan, rasa sadar pada
lingkungan mulai tumbuh dalam hati setiap seminaris dan akhirnya mampu mengajak
seminaris untuk turut serta dalam usaha menciptakan lingkungan Seminari Garum
yang “BERSINAR”, BERsih-Sehat-Indah-Nyaman-Aman-Rapi.
SEJENAK BIJAK BERSAMA ALAM
Seperti yang terlukis dalam kisah penciptaan, bahwa pada
mulanya Allah menjadikan alam semesta sungguh amat baik, “Maka Allah melihat
segala yang dijadikannya itu, sungguh amat baik”, (Kejadian 1:31). Selanjutnya, manusia diberi
kepercayaan untuk mengusahakan alam semesta, seperti yang tertulis dalam
Kejadian 2:15, “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkan dalam taman Eden untuk mengusahakan
dan memelihara taman itu”. Maka, jelas, bahwa manusia–termasuk saya- adalah partner Allah dalam menjaga alam dalam
fitrahnya yang baik.
Berguru dari hal “menaruh sampah pada tempatnya”,
mengingatkan saya untuk berusaha menjaga kebersihan lingkungan dengan
mengawalinya dari hal-hal yang partial. Dengan memperhatikan hal-hal kecil
inilah, saya belajar untuk semakin menumbuhkan rasa tanggung jawab yang radikal
akan lingkungan. Kemudian, saya dapat meminta partisipasi teman-teman, dan
bersama-sama melakukan aksi nyata yang lebih besar. Hal tersebut serupa dengan
yang diajarkan Yesus dalam Injil Lukas 15:10, “Barangsiapa setia dalam
perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar….”.
Karena dengan setia menjaga lingkungan dari hal-hal yang
kecil, saya pun telah berusaha untuk membuat diri saya manjadi mampu melakukan
hal yang lebih besar di kemudian hari, seperti yang diajarkan oleh Yesus
Kristus: “….engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara kecil, aku
akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar”, (Matius
25:23). Dan saya pun telah berjuang demi kemuliaan Allah yang lebih besar, Ad
Maiorem Dei Gloriam.
KEPUSTAKAAN
Basriyanta. 2007. Memanen Sampah. Yogyakarta:
Kanisius
Chang, William. 2001. Moral Lingkungan Hidup. Yogyakarta:
Kanisius
Guize, Noreen Monroe & Tad Guize. 2004. Liku-liku Menuju Kesadaran Diri. Jakarta: OBOR
Http://www.akuinginhijau.org/2008/03/06/fakta-sampah-jakarta-membangun-candi- borobudur-setiap-2-hari, (Online), diakses
pada 6 September 2010, pukul 20.06 WIB
Http://www.mediaindonesia.com/read/2010/07/01/152877/36/5/Rp5665-Juta-Per-Hari- untuk-Biaya-Sampah-Jakarta, (Online),
diakses pada 6 September 2010, pukul 20.16
WIB
Joko, A.P. Dwi. 2008. “Pengembangan Dimensi
Manusiawi dalam Pembinaan Calon Imam”
dalam Melepaskan Panah Melukis Pelangi. (G.
Tri Wardoyo, CM & I. L. Parsudi,
editor). Jakarta:
PT Elex Media Komputindo
Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi suatu pengantar. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada
Susilo, Y. Eko Budi. 2003. Menuju Keselarasan Lingkungan. Malang: Averroes Press
Wardhana, Wisnu Arya. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: ANDI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar